Pangeran Kegelapan yang sedang menanjak Dua orang muncul di tempat yang tidak dikenal, berseberangan dalam jarak beberapa yard di bawah cahaya rembulan sebuah jalan pedesaan. Untuk beberapa detik mereka diam membisu, sambil mengarahkan tongkat sihir ke arah satu sama lain; Lalu, setelah mengenali satu sama lain, mereka memasukan tongkat sihir ke bawah jubah dan mulai berjalan dengan cepat ke satu tujuan yang sama. “Apa kabar?” tanya orang yang lebih tinggi dari keduanya. “Baik” jawab Severus Snape. Jalan itu dibatasi oleh tanah tandus yang semakin menurun di sebelah kiri, di kanan oleh pagar tinggi yang terawat baik. Jubah panjang pria itu, berkelepak di sekitar pergelangan kaki seiring gerakan mereka. “Apakah aku terlambat?” Yaxley, roman mukanya yang kasar memicingkan matanya untuk melihat karena cahaya bulan yang ada terganggu oleh ranting pohon. “Ini tidak seperti yang diharapkan.
Tapi saya berharap Dia akan puas. Apakah kamu percaya penyambutan untuk kamu akan menyenangkan?” Snape mengangguk, tapi tidak kentara. Mereka berbelok ke kanan pada jalan raya yang memulai jalan kecil ini. Pagar tinggi membelok ke arah mereka, membawa di luar sepasang gerbang besi yang mengagumkan menghalangi jalan orang. Tak ada di antara mereka menghentikan langkah. Dalam kesunyian keduanya mengangkat lengan kirinya sebagai sebuah bentuk penghormatan dan bergerak terus melewatinya setelah lebih dulu ada logam hitam yang berasap. Pagar-pagar pohon cemara meredam suara langkah kaki seseorang. Ada sebuah desiran di suatu tempat di kanan mereka. Yaxley menarik tongkat sihirnya kembali dan mengarahkannya ke arah atas kepala temannya. Tapi sumber suara gaduh itu tidak lain hanya seekor merak yang sangat putih, bertengger dengan elok sepanjang bagian atas dari pagar. “Dia selalu merubah dirinya dengan baik, Lucius. Berubahlah!” Yaxley memasukan kembali tongkat sihir ke balik jubahnya sambil berdengus.
Sebuah rumah cantik menyembul dari kegelapan di ujung jalan, lampu berkilat di balik kaca yang berbentuk wajik di jendela ruangan bawah. Suatu tempat di kebun yang gelap di depan pagar ada sebuah air mancur. Batu kerikil bergemericik di bawah kaki mereka saat Snape dan Yaxley mempercepat langkah ke arah pintu depan, kemudian berayun masuk meskipun tidak ada yang membukanya. Ruang masuknya luas, penerangan yang redup, dan berdekorasi mewah, dengan karpet indah yang menutupi sebagian besar lantai batu. Bola mata si muka pucat dari dalam lukisan di dinding mengikuti langkah Snape dan yaxley ketika mereka berjalan melewatinya. Dua orang itu berhenti di pintu kayu besar yang menuju ke dalam ruangan berikutnya, ragu-ragu untuk sesaat dengan jantung yang berdegup kencang, kemudian Snape memutar pegangan pintu yang terbuat dari perunggu. Ruang lukisan itu penuh dengan orang yang duduk terdiam di belakang meja panjang dan penuh hiasan. Mebel yang ada di situ sudah disingkirkan secara sembarangan ke arah dinding. Penerangan berasal dari api unggun yang berada di bawah rak indah dari pualam yang di atasnya ada cermin yang disepuh. Snape dan Yaxley diam untuk sesaat di ambang pintu. Sembari mata mereka menyesuaikan dengan keremangan, pandangan mereka tertarik ke atas pada sesuatu yang sangat aneh: dan rupanya adalah seseorang yang tak sadarkan diri tergantung secara terbalik di atas meja, berputar perlahan seakan-akan digantungkan oleh tali yang kasad mata, bayangannya terpantulkan di cermin dan permukaan meja yang mengkilap di bawahnya. Tidak ada diantara orang yang duduk di bawah penampakan ganjil itu sedang melihatnya kecuali seorang anak muda berwajah pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Dia nampak tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak melirik ke atas setiap menit. “Yaxley, Snape” panggil suara tinggi dan jernih dari ujung meja. “Kalian sangat hampir terlambat” Orang yang berbicara barusan duduk tepat di depan perapian, jadi sulit awalnya bagi yang baru datang untuk mengenali lebih dari sekedar siluet tubuhnya. Ketika mereka berjalan lebih dekat, mulai jelaslah sosok itu. Wajahnya menyaratkan aroma kemuraman, tidak berambut, seperti ular, dengan hidung yang hanya seperti celah kecil, dan mata merah berkilat yang pupilnya berbentuk vertikal. Penampakannya sangat pucat terlihat seperti mutiara yang suram. “Severus, kemari,” Ujar Voldemort, memberi isyarat untuk duduk di kursi sebelah kanannya. “Yaxley, kamu di belakang Delohov” Snape dan Yaxley menuju tempat yang diperintahkan. Sebagian besar pasang mata yang mengelilingi meja mengikuti langkah Snape, dan kepadanyalah Voldemort pertama kali angkat bicara. “Jadi?” tanya Voldemort, langsung tanpa basa-basi. “Tuanku, Orde Phoenix bermaksud untuk memindahkan Harry Potter dari tempatnya sekarang ke tempat yang lebih aman. Pada hari sabtu depan, saat senja datang.” Perhatian peserta pertemuan itu terfokus pada mereka. Sebagian air mukanya mengeras, ada yang gelisah, semuanya memandang Snape dan Voldemort. “Hari sabtu …, pada senja,” ulang Voldemort. Mata merahnya menatap tajam Snape dengan suatu intensitas yang jika orang melihatnya akan menjauh, seakan takut mereka akan dihanguskan dengan pandangan itu. Snape, bagaimanapun kelihatan tenang memandang wajah Voldemort, setelah beberapa saat, mulut Voldemort sedikit melengkung seperti sesuatu yang bisa dikatakan senyuman. “Bagus, bagus sekali. Dan informasi ini datang dari mana?” “Dari sumber yang kita telah diskusikan” Sahut snape. “Tuanku,” Yaxley mencondongkan badannya untuk bisa melihat ke meja panjang di mana Snape dan Voldemort. Semua wajah tertuju padanya. “Tuanku, saya mendengar yang berbeda dari itu” Yaxley menunggu, tapi Voldemort tidak berbicara, jadi Ia meneruskannya. “Auror Dawlish, memberitahukan bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampai tanggal tiga puluh, yaitu malam sebelum anak itu mencapai umur 17” Snape tersenyum. “Sumber saya memberitahukan bahwa mereka akan mengeluarkan berita untuk mengecoh. Itu pasti berita yang dimaksud. Bukan tidak mungkin jika mantra Confundus telah dipasang pada diri Dawlish. Ini bukan yang pertama kalinya; Dia diketahui sangat mudah dipengaruhi” “Saya jamin tuanku, Dawlish kelihatan cukup meyakinkan” kata Yaxley. “Jika dia sudah kena mantra confundus, tentu saja dia kelihatan meyakinkan,” Ujar Snape. “Saya tegaskan kamu Yaxley, Pihak Auror tidak akan memainkan peran cukup banyak dalam pengamanan Harry Potter. Orde percaya bahwa kita sudah menyusup di kementrian sihir.” “Hmmm, orde tahu satu hal yang benar ya?” kata seseorang bertubuh gempal yang duduk tidak jauh dari Yaxley. Ia tertawa terkekeh-kekeh yang membuat suaranya bergaung dalam ruangan tersebut dan sepanjang meja. Voldemort tidak tertawa, pandangannya beralih ke atas dimana sesosok tubuh berputar lamban, dan Ia tidak memperhatikan lagi. “Tuanku,” Yaxley meneruskan, “Dawlish percaya bahwa seluruh auror akan dikerahkan untuk memindahkan anak itu” Voldemort mengangkat tangan putih lebarnya, kemudian Yaxley segera terhenyak, melihat kemarahan ketika Voldemort mengalihkan pandang ke Snape. “Kemana mereka akan menyembunyikan anak itu?” “Ke salah satu rumah anggota orde” Jawab Snape. “Tempatnya, berdasarkan sumber, sudah dipasangi perlindungan bersama oleh orde dan kementrian sejauh mereka bisa sediakan. Menurut saya, ada sedikit kesempatan untuk mengambilnya segera setelah dia di sana, Tuanku, kecuali, tentu saja kementrian sudah dapat diatasi sebelum sabtu depan, yang akan memberikan kita peluang untuk menemukan dan merusak cukup banyak kekuatan mereka, untuk kemudian menghancurkan sisanya.” “Baiklah Yaxley,” Voldemort menggebrak meja. Cahaya api berkilat mengerikan di mata merahnya. “Akankah kementrian bisa diatasi sebelum sabtu depan?” Sekali lagi, semua kepala menoleh. Yaxley membidangkan bahunya. “Tuanku, hamba punya berita gembira pada poin itu. Hal ini hamba lakukan dengan susah payah. Setelah usaha yang teramat keras, hamba berhasil menanamkan kutukan Imperius pada Pius Thicknesse.” Orang-orang yang duduk di sekitar Yaxley terkesima; Delohov pria yang memiliki wajah bulat panjang itu, bertepuk tangan di belakang Yaxley. “Ini baru permulaan,” kata Voldemort. “Tapi Thicknesse baru satu orang, Scrimgeour harus bisa dipastikan dikelilingi oleh orang-orang kita sebelum Aku beraksi. Satu kesalahan saja akan menyebabkan kemunduran jauh ke belakang.” “Ya tuanku, Itu benar. Sebagaimana anda tahu, sebagai kepala departemen pelaksanan hukum gaib, Thicknesse punya kontak tidak hanya ke mentri sihir, tapi juga ke seluruh kepala departemen. Menurut hamba, ini akan lebih mudah. Dengan memiliki seorang pejabat tinggi yang berada di bawah kendali kita, untuk menaklukan lagi yang lain, dan mereka semua akan bisa bersama-sama menjatuhkan Scrimgeour dari kursi mentrinya.” “Selama teman kita thicknesse belum bisa melepaskan diri dari pengaruh kutukan,” kata Voldemort. “Bagaimanapun juga, ada kemungkinan kementrian akan memasang jebakan sebelum sabtu depan. Jika kita tidak bisa mengambil anak itu pada tujuan mereka, maka kita harus lakukan pada saat sedang perjalanan.” “Kita punya keuntungan di situ tuanku,” Kata Yaxley memohon persetujuan. “Kita sekarang punya beberapa orang yang ditempatkan di departemen transportasi gaib, Jika Potter berapparate atau menggunakan jaringan bubuk Floo, kita bisa langsung mengetahuinya.” “Mereka tak akan melakukan keduanya,” sangkal Snape. “Orde akan menghindari jalur transportasi yang dikontrol atau diatur oleh kementrian; Mereka mencurigai semuanya yang berhubungan dengan pihak yang berwenang.” “Kesimpulannya,” kata Voldemort. “Dia akan dibawa dalam keadaan tempat yang terbuka, jadi akan lebih mudah untuk diketahui dari jauh.” Voldemort kembali melihat ke atas pada tubuh yang berputar perlahan kemudian Ia melanjutkan, “Saya akan mengurus anak itu sendiri. Ada banyak kesalahan ketika menyangkut masalah Harry Potter. Sebagian adalah kesalahanku. Sehingga hidupnya harry potter adalah lebih karena kesalahanku daripada kemenangannya.” Tamu-tamu di sekeliling meja menatap Voldemort khawatir, tiap mereka dengan ekspresinya masing-masing, takut jika akan disalahkan akan masih hidupnya Harry potter sampai detik ini. Voldemort, kelihatan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada mereka, sembari tetap mengarahkan pandang ke sosok tak sadarkan diri di atasnya. “Saya sudah ceroboh, dan dirintangi oleh keberuntungan dan kesempatan, yang menurutku adalah rencana yang paling baik. Tapi saya lebih banyak tahu sekarang, saya tahu apa yang sebelumnya saya tidak tahu. Saya harus jadi satu-satunya yang membunuh Harry Potter, dan saya akan lakukan itu.” Pada perkataan ini, nampaknya adalah jawaban bagi mereka. Tiba-tiba, terdengar suara lengkingan yang mengerikan seperti kesengsaraan dan kesakitan yang tiada akhir. Mereka segera melihat ke bawah, terkejut karena ternyata suara itu seperti berasal dari lantai di bawah kaki mereka. “Wormtail,” ujar Voldemort dengan nada suara yang bijak. Matanya masih tetap menatap sosok yang berputar perlahan di atasnya lekat-lekat. “Bukankah sudah kuperintahkan untuk menjaga tahanan kita agar tetap diam?” “Hmmmm…. ya, Tuanku” Nafasnya sedikit sesak ketika baru setengah jalan menuruni meja, duduk sangat rendah di kursinya, jika dilihat sekilas, kursi itu seperti tak ada yang menduduki. Sekarang Ia bangkit cepat-cepat dari kursinya kemudian bergegas meninggalkan ruangan, Tak ada yang ditinggalkannya, kecuali sinar keperakan yang berkilat aneh dibelakangnya. “Seperti yang sudah saya katakan,” lanjut Voldemort, mengalihkan pandangannya lagi ke wajah-wajah tegang pengikutnya, “Saya faham lebih baik sekarang. Saya akan membutuhkan, seperti contoh, saya akan meminjam tongkat sihir satu di antara kalian sebelum saya membunuh Harry Potter.” Wajah-wajah disekitarnya tidak memperlihatkan apa-apa kecuali keterkejutan. Dia baru saja mengumumkan ingin meminjam salah satu dari senjata mereka. “Tak ada sukarelawan?” ucap Voldemort, “Baiklah, Lucius, saya lihat tak ada alasan buatmu untuk memiliki tongkat sihir lagi” Lucius Malfoy dipilih. Kulitnya kelihatan kekuning-kuningan dan seperti lilin dalam cahaya api, lalu matanya terlihat cekung dan berbayang. Jika ia bicara, suaranya terdengar parau. “My lord?” “Tongkatmu Lucius, saya memerlukan tongkat sihirmu” “hamba …” Malfoy melihat ke samping pada arah Istrinya. Istrinya hanya menatap lurus ke depan, air mukanya sepucat suaminya, Rambut pirangnya menggantung di punggung, Walaupun begitu, di bawah meja, dengan berani jari kecilnya mencegah pergelangan tangan suaminya. Malfoy tidak memperdulikannya, Ia memasukkan tangannya ke dalam jubah, ditariknya tongkat sihir dan langsung diberikan kepada Voldemort, yang kemudian diangkat di depan mata merahnya untuk diteliti secara seksama. “Terbuat dari apa?” “Pohon elm, tuanku,” bisik Malfoy. “Lalu intinya?” “Naga, pembuluh jantung naga” “Bagus,” ujar Voldemort. Dia mengeluarkan tongkatnya untuk membandingkan panjangnya. Lucius Malfoy berbuat sesuatu yang tanpa disadarinya; untuk beberapa detik, dia kelihatan seperti sedang berharap untuk dapat menukarkan tongkatnya dengan tongkat milik Voldemort. Gerak isyarat itu tidak luput dari mata Voldemort. Matanya melebar dengan jahat. “Memberimu tongkatku, lucius, Tongkatku?” Sebagian dari hadirin tertawa terkekeh-kekeh. “Saya sudah memberikan kebebasan untukmu lucius, apakah itu belum cukup? Tapi saya memperhatikan kamu dan keluargamu yang kurang bahagia akhir-akhir ini, apakah itu tentang keberadaanku di rumahmu ini yang membuatmu tidak bahagia?” “Tidak, tidak sama sekali tuanku,” “Tak usah berbohong Lucius …” Bunyi desis terdengar saat mulut jahat itu berhenti bicara. Satu atau dua penyihir menahan rasa jijiknya ketika desisan itu makin keras; Sesuatu yang berat terdengar bergerak meluncur melintasi lantai di bawah meja. Seekor ular raksasa muncul lalu merambat pelan di kursi Voldemort. Panjang ular itu kelihatan seperti tak berujung. Ia datang ke Voldemort dan kemudian melingkar di bahunya. Leher ular itu kira-kira seukuran dengan paha manusia. Mata ular itu, yang hanya seperti celah dengan pupil yang tegak lurus tidak berkedip. Voldemort membelai makhluk itu dengan jari-jarinya yang kurus, masih dengan terus menatap Lucius Malfoy. “Mengapa Malfoy tidak merasa senang dengan bagiannya?, Ini adalah giliranku, saat kebangkitan kekuasaan, tidakkah sesuatu yang penting setelah kalian menunggu dalam beberapa tahun ini?” “Tentu saja tuanku,” jawab Lucius Malfoy. Tangannya bergerak menyapu keringat yang ada di atas bibir. “Kami menginginkan juga apa yang demikian.” Di sebelah kiri Malfoy, istrinya mengangguk dengan anggukan yang aneh dan kaku, matanya menghindari Voldemort dan ular itu. Di sebelah kanannya, anak laki-lakinya Draco, memandang pada tubuh tak berdaya di atasnya, melihat sekilas pada Voldemort, kemudian berpaling lagi, takut jika terjadi kontak mata. “Tuanku,” Ucap seorang wanita berkulit gelap, suaranya mengandung emosi, “Adalah sebuah kehormatan keberadaan anda di rumah keluarga kami. Tak ada kebahagian yang lebih dari ini.” Dia berkata di belakang saudara perempuannya, walaupun tidak mirip kelihatannya, Dengan rambut hitam dan pelupuk mata yang tebal. Sikap dan tingkah laku mereka pun berbeda. Misal Narcissa yang duduk dengan kaku dan tenang, lain dengan Bellatrix yang duduk bersandar di hadapan Voldemort. Walaupun mereka sebenarnya saling menyayangi. “Tak ada kesenangan yang lebih besar,” ulang Voldemort. Kepalanya menoleh ke satu sisi seakan Ia menghormati Bellatrix. “ini berarti perlakuan yang istimewa, bellatrix, dari kamu” Wajah Bellatrix menjadi pucat; kemudian air mata bahagia berlinang di matanya. “Tuanku, tak ada yang saya katakan kecuali kebenaran …” “Tak ada kesenangan yang lebih besar … walaupun dibandingkan dengan kebahagian itu, Saya dengar, sudah dilaksanakan dalam keluargamu ya minggu ini?” Bellatrix menatapnya, Bibirnya tercekat, terang sekali Ia kelihatan bingung. “Hamba tidak mengerti apa yang anda maksudkan, tuanku” “Saya berbicara tentang kemenakan perempuanmu, Bellatrix. Dan kalian juga, Lucius dan Narcissa. Dia baru saja menikah dengan seorang manusia serigala, Remus Lupin. Kalian pasti sangat bangga dengan hal ini.” Sorak dan gelak tawa meledak dalam ruangan itu. Banyak yang sampai terbungkuk-bungkuk saking riangnya tertawa; sebagian lagi malah ada yang meninju-ninju meja. Si ular raksasa tidak suka dengan kegaduhan ini, Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan mengeluarkan desisan marah, tapi para pelahap maut tidak menghiraukannya, hal ini merupakan suatu penghinaan bagi Bellatrix dan Malfoy. Wajah Bellatrix yang tadinya bersemu gembira, sekarang berubah menjadi merah padam. “Dia bukan kemenakan kami, tuanku,” teriak Bellatrix di sela-sela gempap gempita itu, “Saya dan Narcissa tidak pernah menganggap Ia saudara perempuan kami lagi sejak memutuskan untuk menikah dengan si darah lumpur. Anak nakal itu tidak pernah berhubungan dengan kami, sejak Ia menikahi jahanam itu.” “Apa yang akan kau katakan, Draco?” tanya Voldemort, Meskipun suaranya lirih, tapi terdengar dengan jelas di antara ejekan dan sorakan. “Apakah kamu mau menjaga bayi mereka hah?” Keriuhan sampai pada puncaknya; Draco melihat ngeri ke Ayahnya, yang Ia hanya menatap kosong ke pangkuannya, kemudian menatap mata Ibunya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala seperti tidak disadarinya, dan dengan air muka yang tidak berubah memandang lurus ke arah dinding di seberangnya. “Cukup!” perintah Voldemort, sambil membelai ular yang sedang marah, “Cukup.” Dan gelak tawa berhenti seketika. “biasanya ada pohon silsilah keluarga besar yang terkena penyakit sekali waktu,” Dia berkata pada Bellatrix yang sesak nafasnya, menatapnya dengan tatapan memohon, “Kau harus memangkasnya, Tidakkah kamu harus menjaganya agar tetap sehat? Buang cabang yang mengancam kesehatan dari yang sisanya.” “Baiklah tuanku,” bisik Bellatrix, matanya berlinang air mata kesyukuran kembali. “Beri aku kesempatan!” “Kamu pasti mendapatkannya,” ujar Voldemort. “Tidak hanya di keluargamu, tapi juga di dunia, kita akan memangkas habis kanker yang menginfeksi kita. Sampai hanya tersisa darah murni saja!” Voldemort mengangkat tongkat sihir kepunyaan Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung ke sosok yang berputar lamban tergantung di atas meja, kemudian sedikit menjentikan tongkatnya. Sosok itu mulai hidup lagi dengan sebuah rintihan, dan kembali berusaha melepaskan diri dari pengikat yang tak kelihatan. “Kamu mengenali tamu kita, severus?” tanya Voldemort. Snape melihat ke atas ke wajah terbalik itu. Para pelahap maut ikut melihat ke arah tawanan mereka, walaupun tidak diizinkan menunjukan rasa kecurigaan mereka. Ketika tawanan itu berputar menghadap cahaya api, Ia berkata dengan suara yang pecah dan ketakutan “Severus, tolong aku!” “Oh ya,” ujar Snape ketika sosok itu bergerak menjauh lagi. “Dan kamu, Draco?” Perintah Voldemort, sembari membelai moncong ular dengan tangan yang tidak memegang tongkat. Draco tersentak menggelengkan kepalanya. Sekarang ketika wanita itu sudah tersadar, Draco seperti tak mampu untuk melihatnya lagi. “Tapi kamu tidak akan mendapat kelasnya,” ujar Voldemort. “Dan buat kalian yang tidak tahu, kita malam ini ditemani oleh Charity Burbage yang, sampai sekarang mengajar di sekolah sihir Hogwarts pada bidang studi Ilmu sihir dan guna-guna.” Ada sedikit nada mengerti dari beberapa peserta. Seorang wanita bertubuh besar yang sudah agak bungkuk, dengan gigi tajam dan suara yang mengkotek. “Ya, Profesor Burbage mengajarkan pada anak-anak penyihir semua tentang muggle. Bagaimana mereka tidak begitu berbeda dengan kita…” Satu dari para Pelahap Maut meludah di lantai. Charity Burbage berputar kembali menghadap Severus Snape. “Severus, tolong… tolong…” “Diam!” Voldemort, dengan sedikit hentakan pada tongkat Malfoy, dan Charity terdiam seakan disumbat. “Tidak puas dengan merusak dan mencemari pemikiran anak penyihir, minggu lalu Profesor Burbage menulis pembelaan yang berapi-api untuk darah lumpur di daily prophet. Penyihir, ujar Profesor Burbage, harus bisa menerima pencuri-pencuri dari pengetahuan dan kemampuan sihir mereka. Pengurangan jumlah darah murni adalah, ujar Profesor Burbage, suatu keadaan yang sangat diharapkan… Dia mengininkan kita berkeluarga dengan Muggle, atau tidak diragukan lagi, Manusia Serigala.” Tak ada orang yang tertawa kali ini. Tidak kedengaran lelucon, tapi hanya kemarahan dan rasa jijik pada suaranya. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar ke arah Snape. Air mata mengalir dari mata wanita itu ke rambutnya. Snape melihat kembali pada wanita itu, cukup tenang, hingga Ia kembali berputar menjauhi Snape. “Avada Kedavra” Kilat sinar hijau menerangi seluruh pojok ruangan. Charity jatuh dengan suara dentuman yang bergema di atas meja, hingga bergetar dan berbunyi kemeriak. Beberapa Pelahap maut terlonjak dari kursinya. Draco melorot ke atas lantai. “Makan malam, nagini,” Kata Voldemort dengan lembut, dan ular raksasa itu melenggang dari bahu Voldemort kemudian merayap di atas meja berpelitur. Translated by Dimas Prasetyo
1 comments:
Heyy, aq comment-in artikel qu sndr loh.... Ga papa ahh, lg-an g da yg ng'lrng....
Artikel ini bgs bgt...
aq dah baca, n ceritanya seru dan mkin penasaran bgt, jd pngen nonton the movie- nya niih....
Post a Comment