CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Saturday, November 22, 2008

Di Antara Permintaan Hati

Anda percaya dengan kekuatan cinta? Jika anda sudah membaca cerita ini pasti anda akan percaya tentang kekuatan cinta. Seperti apa kekuatan cinta tersebut? Silakan anda baca!

---


Malam itu sepi tampak melingkupi belahan langit. Rembulan tertutupi gumpalan awan kelabu. Bintang hanya bermunculan satu -satu. Langit tak begitu ramai dihiasi benda -benda angkasa. Sama seperti kotaku yang tak lagi ramai. Sepi tampak berhembus di sana -sini. Malam itu, telah menunjukkan pukul 10 . Aku melangkahkan kakiku dengan enggan, menyusuri pelataran trotoar. Jarak rumahku tak seberapa jauh dari situ. Hari yang melelahkan baru saja kulalui. Jadwal kuliah yang kuambil membuatku baru bisa pulang kala itu. Belum lagi tugasku untuk menyelesaikan beberapa tulisanku di berbagai mejalah remaja.

Malam itu, langit membumbung di angkasa. Aku masih berjalan dengan lelahku ketika tiba -tiba aku menyadari sesuatu. Seperti langkah kaki yang berderap dari arah belakangku. Sesaat aku menyadari, aku tengah diikuti seseorang. Aku lantas semakin mempercepat langkahku hingga setengah berlari. Namun suara deru langkah kaki itu semakin mengejarku. Aku pun beradu cepat dengan suaru deru langkah kaki itu. Sementara berbagai macam pikiran menyeruak di kepalaku. Aku mungkin akan dirampok, aku akan diperkosa. Aku akan dibunuh !!. Sambil berlari kulihat di sekelilingku. Di gang yang kulalui memang tak tampak seorang pun yang masih berkeluyuran. Mungkin malam yang terlalu sendu membuat mereka tertidur lebih cepat. Hingga tak kusadari, sebongkah batu besar menghadang di bawahku. Kakiku menyepak batu itu. Perih !. Aku tersandung. Tubuhku oleng. Aku terjerembab di. Jatuh di tanah yang gersang. Dengan posisi tengkurap. Kudengar langkah kaki orang yang mengejarku sudah tepat berada di belakangku. Tawatlah riwayatku !!.


Pria itu berdiri tegap di hadapanku.Tinggi membusung sekitar 180 Cm. Otot – ototnya tegap. Sekeras baja, menggapai tangan- tanganku yang mungil. Aku yang sudah mampu berdiri menatapnya. Tubuhnya benar – benar sempurna. Aku seperti tiba - tiba tersihir pesona dirinya. Alisnya lebat dengan mata yang cekung. Jantan seperti elang. Kulitnya hitam manis. Membuat segala apa yang dikenakannya mejadi tampak indah di tubuhnya. Sempurna. Begitu gagah. Perkasa. Sejenak ketakutanku berubah menjadi kekaguman. Bisa kurasakan wajahku yang merona tiba – tiba. Aku juga melihat binar dimatanya yang begitu indah. Dan disitu, dalam ketidakmengertian yang terlalu ganjil. Aku terheran – heran. Pria perkasa itu. Matanya tampak diselimuti kesedihan yang membara. Tiada ku mengerti, hati seorang pria yang begitu jantan sepertinya. Menitikkan air mata, yang masih membekas di pelipisnya. Air mata yang tak pernah bisa dia sembunyikan dariku. Dan dalam haru itu, ia berkata,


“ Tolong…tolong aku…hanya kamu yang bisa menolongku ,“ucapnya masih di tengah kesedihan.

Aku seperti terhanyut aura kesuraman yang diciptakannya. Makluk sensitif sepertiku, berhadapan dengannya, hatiku seolah luluh. Seperti lilin yang lumer perlahan. Dan seolah tak puas dengan ekspresiku yang bingung dan gagu, ia berusaha lagi berkata,

“ tolong…hanya kamu yang bisa menyelamatkan nyawanya…”tukasnya lagi dalam deburan air mata.
“ Aku ?...aku…apa – apaan ini ? …apa yang bisa aku lakukan untukmu ??...aku bahkan tak mengenal siapa kamu…”ucapku penuh ragu antara iba dan takut.
“ Ibuku…,satu – satunya orang yang aku miliki di dunia ini…. Umurnya tak lama lagi…aku tak sanggup jika harus kehilangan dirinya. Kamu juga tak akan pernah sanggup kehilangan orang yang kamu cintai bukan ?...”tanyanya sembari menatapku dekat.

Aku kesal, disodori pertanyaan seperti itu oleh pria sepertinya. Aku lantas berbalik, bermaksud meninggalkannya. Enggan dengan segala keanehannya malam itu. Namun ia berlutut. Membuatku luluh dalam rayuan yang tak kumengerti.

“ Kumala Dewi…aku tahu kalau bibir ini tak akan kuasa memintamu…tapi, untuk yang terkahir kalinya…ikutlah denganku..dengarkanlah permintaan hatiku…. Untuk ibuku…”

Aku terhenyak. Mendengar ucapan terakhirnya. Bukan semata ucapan rayuan kuno biasa. Bahkan,. ucapan seperti itu hanya ada dalam dialog yang kumuat di cerita – cerita fiksiku. Terlebih lagi, ia mengenalku ? aku lantas berbalik. Menatapnya tajam.

”darimana kamu mengenalku ?..kamu..kamu pasti telah lama mengikutiku…apa yang kau inginkan dariku ?..”ujarku penuh selidik.
”percayalah…kumala,telah puluhan penulis yang aku datangi. Sudah puluhan penulis yang ku kenalkan padanya. Namun kekuatan mereka seolah sia -sia. Tetap tak mampu mengembalikan hidupnya. Lalu aku menemukanmu…hanya kamu harapan terakhirku,plis..”ucapnya dalam haru.
“ tapi…kenapa aku yang kau pilih ?..bukankah masih banyak penulis lain yang lebih baik dariku. Masih banyak penulis lain yang..”
“ karena aku yakin padamu.. hatiku percaya..pada karya – karyamu..dalam keputus asaanku, aku menemukan artikel yang memuat kritik tentang karya – karyamu,aku pun membaca karyamu.aku mengagumi karya -karyamu..menyentuh. dalam. puitis. romantis. Namun tetap realistis, meski..terkadang mengiris..”pujinya.

Lalu detik itu juga. Hatiku di rebut olehnya. Gembok hatiku yang sudah lama terkunci, mampu dibuka olehnya dalam sekejap.

“ tolong..ikutlah denganku..demi dia…”pintanya lagi.

Dan Entah karena kemurnian pujiannya. Ataukah karena pesona dirinya. Aku pun tersentuh mengikuti keinginannya. Aku pun terhanyut mengikuti permintaan hatinya.
“ Baiklah…”ucapku akhirnya sambil menarik nafas dalam – dalam. “ dengan satu syarat..”. Ia menatapku. Lega di wajahnya sejenak memudar. “ jangan pernah kau menyentuhku..”pintaku. Seolah masih tak percaya padanya. Ia menatapku. “ aku akan ikut kemanapun langkahmu..tapi tetaplah kau disampingku, jangan pernah menyentuhku “.Ia tersenyum simpul. Mengangguk. Lalu mengiringi langkahku.

Malam itu juga, aku mengikuti kemanapun langkahnya. Ia seperti arah mata angin bagiku. Dalam diamnya, kulihat setitik sedih masih tersisa di sorot matanya. Aku terus mengikutinya. Ke tempat yang tak pernah aku mengerti.

“ oh yah,…kau sudah tahu segalanya tentangku. Tapi aku tak tahu siapa kamu..”ujarku sembari berjalan disisinya.”Dirga..”ucapnya.
**** ****
Kebingunganku mendapatkan jawabannya. Badai pertanyaan yang telah singgah di hatiku menghilang.. Dirga membawaku ke ruangan itu. Sekitar 30 menit yang lalu kita sampai disitu. Lantas aku mengerti segalanya. Tentang apa sebenarnya yang terjadi pada hidupnya. Juga hidup seorang wanita yang terduduk membisu di hadapanku. Wanita itu berusia sekitar 40 tahunan. Keriput di wajahnya tampak samar, namun tetap tak menutupi kecantikannya. Sejak datang ke ruangan itu yang ternyata adalah salah satu ruangan di Rumah Sakit jiwa di Jakarta,suasana sudah tampak sepi. Sewaktu kami datang, dua orang dokter dan beberapa perawat yang baru saja memeriksanya tampak keluar ruangan.
Dan disinilah aku terduduk. Di hadapan wanita yang sedari tadi hanya diam membisu. Juga disamping dirga, anak satu – satunya. Yang wajahnya tak jauh menawan dengan wanita itu. Yang perlahan menjelaskan segalanya tentang apa yang dialami ibunya. Namun yang tak pernah aku pahami, adalah bagaimana sedih itu begitu dalam membelenggunya. Bagaimana kekuatan cinta pernah begitu menyiksanya.
Sejak kematian suaminya yang juga Ayah Dirga beberapa tahun silam. Bu Ayu tampak murung. Berhari -hari ia mengurung diri di kamarnya. Tenggelam dalam samudera kesedihannya. Bahkan hingga berhari, berminggu. Berbulan – bulan. Hingga suatu ketika, kondisinya melemah. Dirga segera melarikannya ke Rumah Sakit. Namun tetap tak membantu kondisi jiwanya. Bu Ayu pun dirujuk ke salah satu Rumah Sakit kejiwaan di Jakarta. Dan menghabiskan bertahun -tahun disini, karena tetap tak membantu memulihkan jiwanya. Dirga, anak tunggalnya yang ternyata adalah seorang pemusik pun meninggalkan pekerjaannya untuk manggung di berbagai cafĂ©. Bahkan ia melepaskan diri dari grup Band yang pernah diketuaniya. Demi ibunya, satu-satunya orang yang dimilikinya. Rumah sakit ini pun seolah menjadi rumahnya. Semua keperluannya di pindahkan kesini.
Terkadang Dirga mencoba untuk menghibur ibunya. Menyenandungkan berbagai lagu. Mulai lagi zaman nostalgia ibunya hingga lagu anak muda zaman sekarang yang begitu mendayu – dayu. Namun semua itu tetap tak berhasil. Ia juga tak mengerti, mengapa prahara kematian ayahnya begitu dalam membelenggu hatinya. Berratus -ratus orang kehilangan orang yang mereka cintai diluar sana. Namun tak mungkin hingga membekaskan luka yang mendalam selama bertahun –tahun, seperti apa yang dialami ibunya. Dirga tak mengerti apa yang harus ia lakukan. Dan di tengah ketidak mengertiannya itulah, ibunya tiba – tiba berbicara kepadanya. Ibunya tiba-tiba mengungkapkan permintaan hatinya. Ia ingin di pertemukan dengan seorang penulis. Hanya penulis. Segenap tenaga Dirga merayu bahkan membayar beberapa penulis untuk mendatangi ibunya. Namun semuanya tak pernah berhasil. Sia-sia. Hingga suatu malam. Kondisi ibunya tiba- tiba melemah. “ umurnya tak lagi….ada kanker yang bersarang di rahimnya. Kita harus segera melakukan tindakan operasi “, ujar Dokter yang memeriksanya kala itu. Namun ketika keinginan itu disampaikan kepada ibunya. Ia tetap menolak. Ia tak kan pernah menyutujui operasi itu sebelum bertemu seorang penulis. Dan dalam keputus asaannya itulah aku hadir di tengah kepuutus asaan seorang Dirga.
“Baiklah…apa yang bisa aku lakukan untuknya..”ucapku pada Dirga sambil masih terus menatap Bu Ayu. “berjalanlah kepadanya, lalu sapa dia..katakan kalau kamu seorang penulis..”perintah Dirga. Aku melangkahkan kakiku dengan berat. Menghadap kepadanya seperti narapidana yang akan menerima hukumannya. Aku menarik napas dalam – dalam. Lalu berlutut di hadapannya. “ Bu, aku Kumala Bu…aku datng kesini untuk membantu ibu..aku akan mendengar segala permintaan hati Ibu..”ujarku pasrah.

Mula-mula ekspresinya biasa-biasa saja. Namun beberapa detik setelah mendengar ucapanku. Ia melihatku terus-menerus. Meneliti setiap lekuk wajahku. Lantas mengerutkan keningnya. Entah mengapa. Saat itu juga, aku melihat air mata yang turun perlahan di pipinya yang lama tak terurus. Di hadapannya, lagi-lagi aku terhanyut. Tenggelam karena arus kepedihan yang di rasakannya selama bertahun-tahun. Lalu ia menggapai tanganku, menyelinapkan sesuatu di telapak tanganku. Sebuah buku harian. Aku tak mengerti, namun aku menerimanya. Buku harian tua berwarna coklat tua, yang menjelaskan semuanya. Kala itu juga, aku menghabiskan waktuku disitu. Menguraikan kembali sisi-sis kehidupan seorang bu Ayu dari awal. Seperti ikut dalam alur cerita kehidupannya yang penuh haru. Cerita tentang seorang pria bernama Bagas Cokro. Penulis muda dari Bali yang merupakan cinta pertama sekaligus cinta terakhirnya. Penulis yang pernah dicintainya. Namun tak pernah sempat dinikahinya. Sebab orang tua mereka yang tak pernah menyetujuinya. Hingga Bu ayu akhirnya di jodohkan dengan ayahnya Dirga. Cinta yang lain. Meski harus berpisah lagi.
Aku pun mengerti untuk apa ia membutuhkan seorang penulis. Hanya penulis. Ia ingin ceritanya diangkat kedalam realita. Ia igin kisah hidupnya. Diangkat kedalam sebuah Novel. Aku tak menolaknya. Jika itu permintaan hatinya. Selain itu, ia juga ingin di buatkan sebuah puisi. Puisi yang kelak ingin di berikannya bagi kekasihnya. Dan kelak di abadikannya untuk kisahnya. Aku lantas mengambil selembar kertas dan mulai mengukir seuntai puisi. Yang kala itu juga kuperlihatkan padanya. Ia hanya terdiam, menelusuri kata yang kutuliskan. Lalu ia memelukku. Lama.dan selesailah tugasku karena kala itu juga, ia menyetujui operasi yang pernah di tundanya. Ia pun menyetujuinya.
**** ****
Pagi itu langit tampak mendung. Jejak matahari tak terkira sedang berada di bagian mana. Awan masih membisu diatasku. Berbulan-bulan telah berlalu dari kejadian itu. Dirga tampak menaburkan bebungaan di makam itu. Makam ibunya. Sementara aku berdiri disampingnya. Menggendong Bagas, buah hati kami yang berumur 2 Tahun. Di samping Dirga, juga tampak Bagas Cokro. Kekasih ibunya . Aku lega. Batinku lega. Sebuah permintaan hati baru saja kukabulkan. Novel yang bercerita tentang kehidupan mertuaku baru saja kuselesaikan, dan telah di rilis kemarin. Dan itu merupakan karya pertamaku yang diangkat dari sebuah kisah nyata.
Aku tetap tak mengerti, tentang betapa cinta itu tak terbatas. Tentang betapa cinta itu penuh liku dan makna. Namun aku lega, sebuah permintaan hati telah kukabulkan. Termasuk salah satu diantara permintaan hati bu Ayu. Bahwa aku harus selalu berada di sisi Dirga. Bahwa aku akan selalu berada di sampingnya sampai kapanpun. Dan itulah alasan yang selama ini di sembunyikannya. Tentang mengapa penulis-penulis sebelumnya tak pernah berhasil. Karena sang penulis juga dinilai oleh Bu Ayu, kelak menjadi istri Dirga. Sementara hari semakin mendung. Bagas Cokro hanya terdiam disamping kami . membaca puisi itu, puisi yang pernah kubuatkan untuknya atas permintaan Bu Ayu.
Aku ingin mencintaimu...
Seperti matahari mencintai bumi . . .
tiada pernah kehabisan sinar cintanya...

Aku ingin mencintaimu. . .
Seperti bintang mencintai semesta . . .
Tak kan pernah kehabisan murni cahayanya . .

Aku ingin menyayangimu . . .
Seperti gelombang menyayangi pantai...
tak pernah lelah menepi...

Aku hanya ingin disini . . .
Di sisimu . . .
Hingga matahari tak lagi bersinar . .
Hingga bintang tak lagi bercahaya . . .
Hingga gelombang tak lagi menepi . .
Aku hanya ingin mencintaimu . .
Hingga akhir waktuku...

0 comments: