Tuesday, December 30, 2008
Saturday, November 22, 2008
Taman Atap, "Stepping Stone" Hijau Jejaring Ekologi Kota
PEMBANGUNAN perkotaan tidak saja menuntut peningkatan kebutuhan atas ruang, tetapi juga meningkatkan kompleksitas ruang. Aktivitas ini sering kali menempatkan pertimbangan-pertimbangan atas kota dan entitas alam serta kehidupan liar (wildlife) pada posisi yang terpisah. BAHKAN, akibat ketersediaan ruang- ruang kota yang terbatas dan sering tidak sejalan dengan tingkat kebutuhannya, sering menimbulkan konflik-konflik peruntukan ruang yang dilematis antara kepentingan pembangunan dan pelestarian alam. Pada akhirnya keberadaan relung-relung alami (niches) berupa ruang terbuka hijau dan taman kota senantiasa menjadi korban dan sasaran penggusuran dengan berbagai alasan-alasan klasik. Jakarta dengan luas kota 66.000 hektar menjadi contoh terhadap fenomena di atas. Tidak konsistennya penentuan besaran kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya merupakan contoh kasus yang mudah dibuktikan. Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37,2 persen, berubah menjadi 25,85 persen dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985–2005 (Perda Nomor 5 Tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13,94 persen dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000–2010 (Perda No 6 Tahun 1999). Namun, realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir ini pun tampaknya "cukup sulit" terpenuhi. Oleh karena itu, sementara kita harus bersabar menantikan political will pemerintah dalam mengimplementasikan rencana tata ruangnya secara konsisten, pemberdayaan potensi ruang hijau lain patut dipertimbangkan. Salah satu upaya pemberdayaan ruang yang radikal adalah melalui program penyusupan kantong- kantong hijau pada atap-atap gedung bertingkat dan struktur bangunan (rooftop garden). Taman atap atau ruang hijau atap ini merupakan bentuk penghijauan dengan wadah tanam atau ruang pada atap gedung atau struktur buatan lainnya.
Perambahan "hutan beton" dengan ruang hijau atap bangunan ini tidak saja "menghidupkan" ruang steril yang tidak termanfaatkan, tetapi juga memecahkan desain atap gedung dan horizon kota yang monoton. Kehadiran taman-taman atap tersebut juga memberikan jasa lingkungan berupa pembebasan lingkungan perkotaan dari kepungan polusi udara dan debu, penyerapan pancaran udara panas yang tidak nyaman, serta peredaman bising yang memekakkan telinga. Pengembangan ruang hijau vertikal di atas belantara "hutan beton" tersebut mempunyai peran ekologis dalam meningkatkan biodiversitas di perkotaan. Jalinan antarruang hijau atap yang terbentuk merupakan jejaring (network) infrastruktur alam di kota. Kehadiran ruang-ruang hijau atap ini menjadi alternatif dalam mengatasi isolasi dan kesulitan dalam membangun jejaring yang kontinu pada lahan yang terfragmentasi.
Taman atap tersebut menjadi batu pijakan (stepping stone) koridor udara penghubung vegetasi, satwa, dan wildlife. Kehadiran stepping stone hijau ini menjadi komponen pergerakan kehidupan liar, baik antarrelung hijau taman atap kota maupun dengan "kawasan sumber" (resources pool) luar kota.
Sebagai negara yang menandatangani Convention on Biological Diversity, upaya pemulihan lahan-lahan perkotaan yang terdegradasi dengan mengembangkan alternatif peningkatan keragaman biologi di perkotaan (urban biodiversity) patut mendapat acungan jempol.
Untuk kasus Jakarta, adanya kendala dalam pengembangan RTH kota adalah berupa penggusuran taman-taman kota menjadi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau gardu listrik, penebangan pohon peneduh pada koridor hijau jalur sirkulasi, dan okupasi koridor biru (blueways) Sungai Ciliwung. Jaringan sungai serupa lainnya serta sabuk hijau mangrove Muara Angke oleh permukiman "liar" setidaknya dapat "dikompensasi" melalui pengembangan jejaring stepping stone hijau.
Pada saatnya nanti apabila keseluruhan komponen infrastruktur hijau bersinergi akan tercipta tatanan infrastruktur alami yang variatif dengan beragam koridor biologi berupa koridor hijau, blueways, greenbelt; dan jejaring hijau berbentuk RTH, taman kota, serta stepping stone hijau. Adanya peran multifungsi yang sulit dilakukan pada lahan perkotaan yang terfragmentasi seperti digambarkan di atas menjadi alasan dikembangkannya sistem jejaring stepping stone hijau pada kota- kota besar mancanegara. Sebelum berkembang di Amerika Serikat dan Kanada, beberapa negara Eropa seperti Jerman, Swis, Austria, dan negara Skandinavia tercatat menjadi pelopor dalam pembangunan ruang hijau atap bangunan ini. Penghijauan "hutan beton" perkotaan di Jerman pada tahun 1980-an menunjukkan peningkatan yang menakjubkan. Gerakan yang di tahun 1989 telah menghijaukan atap gedung bertingkat seluas satu juta meter persegi, semakin melebar menjadi 10 juta meter persegi pada tahun 1996 dengan proporsi di antara sepuluh atap gedung terdapat satu taman atap.
Keberhasilan pembangunan taman atap ini tidak terlepas dari adanya dukungan peraturan dan finansial pemerintah kota sebesar 35-40 DM untuk setiap meter persegi luas atap. Di Asia beberapa negara, seperti Singapura, Hongkong (China), Jepang, dan Korea, dengan gencar menggalakkan gerakan penghijauan atap ini. Pemerintah Jepang yang sangat mendukung gerakan ini sejak 1 April 2004 memberlakukan aturan yang mewajibkan penyediaan minimum 20 persen dari areal atap datar gedung bertingkat sebagai ruang hijau. Kewajiban ini diberlakukan pada setiap pembangunan gedung layanan publik (dengan luas minimum 250 meter persegi) atau fasilitas komersial privat (dengan luas minimum 1.000 meter persegi). Dalam mempromosikan areal hijau kota di Hongkong, telah diterbitkan surat keputusan bersama tiga menteri (bidang bangunan, bidang lahan, dan bidang perencanaan) yang memasukkan penghijauan atap bangunan dalam standar pembangunan gedung tinggi. Di Singapura program penghijauan atap-atap gedung tinggi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan program yang mendukung Singapura sebagai Kota (Negara) Taman.
Kekurangan areal hijau di kota metropolitan Seoul (dengan luas kota 62.000 hektar) mendapat tambahan dalam bentuk taman atap atau ruang hijau atap ini. Ruang hijau potensial yang disumbangan dari "hutan beton" ini setidaknya dapat mencapai sekitar 20.000 hektar (30 persen) dari total kawasan terbangun kota seluas kira-kira 25.000 hektar atau 42 persen dari luas kota (Kim, 2005). Pemberdayaan "hutan beton" gedung bertingkat dan struktur bangunan lain menjadi stepping stone hijau kota sangat dimungkinkan dengan adanya dukungan teknologi penghijauan atap.
Desain ruang hijau atap ini dapat bervariasi dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan (pemeliharaannya). Dengan mempertimbangkan konstruksi bangunan, seperti kekedapan struktur atap, penggunaan lapisan membran kedap air, root repelling membran, penggunaan wadah tanam, sistem drainase berlapis, pemilihan dan penggunaan media tanam ringan dan pemilihan jenis tanaman merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkannya.
Fungsi ruang hijau atap ini dapat didesain hanya sebagai ruang hijau tanpa akses untuk dikunjungi maupun sebagai taman sehingga bentuk pengelolaannya akan menyesuaikan dengan desain ruang hijau yang dikembangkan.
Semoga konsep stepping stone hijau belantara "hutan beton" pelengkap jejaring infrastruktur alam dalam meningkatkan biodiversitas kota (urban biodiversity) ini menjadi oase pemikiran yang segar untuk dikembangkan di lingkungan perkotaan Tanah Air.
Posted by InDaH's BloG at 6:35 AM 0 comments
Labels: Berita Iptek
Harry Potter and The Deathly Hallows (Chapter 01 translated))
Pangeran Kegelapan yang sedang menanjak Dua orang muncul di tempat yang tidak dikenal, berseberangan dalam jarak beberapa yard di bawah cahaya rembulan sebuah jalan pedesaan. Untuk beberapa detik mereka diam membisu, sambil mengarahkan tongkat sihir ke arah satu sama lain; Lalu, setelah mengenali satu sama lain, mereka memasukan tongkat sihir ke bawah jubah dan mulai berjalan dengan cepat ke satu tujuan yang sama. “Apa kabar?” tanya orang yang lebih tinggi dari keduanya. “Baik” jawab Severus Snape. Jalan itu dibatasi oleh tanah tandus yang semakin menurun di sebelah kiri, di kanan oleh pagar tinggi yang terawat baik. Jubah panjang pria itu, berkelepak di sekitar pergelangan kaki seiring gerakan mereka. “Apakah aku terlambat?” Yaxley, roman mukanya yang kasar memicingkan matanya untuk melihat karena cahaya bulan yang ada terganggu oleh ranting pohon. “Ini tidak seperti yang diharapkan.
Tapi saya berharap Dia akan puas. Apakah kamu percaya penyambutan untuk kamu akan menyenangkan?” Snape mengangguk, tapi tidak kentara. Mereka berbelok ke kanan pada jalan raya yang memulai jalan kecil ini. Pagar tinggi membelok ke arah mereka, membawa di luar sepasang gerbang besi yang mengagumkan menghalangi jalan orang. Tak ada di antara mereka menghentikan langkah. Dalam kesunyian keduanya mengangkat lengan kirinya sebagai sebuah bentuk penghormatan dan bergerak terus melewatinya setelah lebih dulu ada logam hitam yang berasap. Pagar-pagar pohon cemara meredam suara langkah kaki seseorang. Ada sebuah desiran di suatu tempat di kanan mereka. Yaxley menarik tongkat sihirnya kembali dan mengarahkannya ke arah atas kepala temannya. Tapi sumber suara gaduh itu tidak lain hanya seekor merak yang sangat putih, bertengger dengan elok sepanjang bagian atas dari pagar. “Dia selalu merubah dirinya dengan baik, Lucius. Berubahlah!” Yaxley memasukan kembali tongkat sihir ke balik jubahnya sambil berdengus.
Sebuah rumah cantik menyembul dari kegelapan di ujung jalan, lampu berkilat di balik kaca yang berbentuk wajik di jendela ruangan bawah. Suatu tempat di kebun yang gelap di depan pagar ada sebuah air mancur. Batu kerikil bergemericik di bawah kaki mereka saat Snape dan Yaxley mempercepat langkah ke arah pintu depan, kemudian berayun masuk meskipun tidak ada yang membukanya. Ruang masuknya luas, penerangan yang redup, dan berdekorasi mewah, dengan karpet indah yang menutupi sebagian besar lantai batu. Bola mata si muka pucat dari dalam lukisan di dinding mengikuti langkah Snape dan yaxley ketika mereka berjalan melewatinya. Dua orang itu berhenti di pintu kayu besar yang menuju ke dalam ruangan berikutnya, ragu-ragu untuk sesaat dengan jantung yang berdegup kencang, kemudian Snape memutar pegangan pintu yang terbuat dari perunggu. Ruang lukisan itu penuh dengan orang yang duduk terdiam di belakang meja panjang dan penuh hiasan. Mebel yang ada di situ sudah disingkirkan secara sembarangan ke arah dinding. Penerangan berasal dari api unggun yang berada di bawah rak indah dari pualam yang di atasnya ada cermin yang disepuh. Snape dan Yaxley diam untuk sesaat di ambang pintu. Sembari mata mereka menyesuaikan dengan keremangan, pandangan mereka tertarik ke atas pada sesuatu yang sangat aneh: dan rupanya adalah seseorang yang tak sadarkan diri tergantung secara terbalik di atas meja, berputar perlahan seakan-akan digantungkan oleh tali yang kasad mata, bayangannya terpantulkan di cermin dan permukaan meja yang mengkilap di bawahnya. Tidak ada diantara orang yang duduk di bawah penampakan ganjil itu sedang melihatnya kecuali seorang anak muda berwajah pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Dia nampak tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak melirik ke atas setiap menit. “Yaxley, Snape” panggil suara tinggi dan jernih dari ujung meja. “Kalian sangat hampir terlambat” Orang yang berbicara barusan duduk tepat di depan perapian, jadi sulit awalnya bagi yang baru datang untuk mengenali lebih dari sekedar siluet tubuhnya. Ketika mereka berjalan lebih dekat, mulai jelaslah sosok itu. Wajahnya menyaratkan aroma kemuraman, tidak berambut, seperti ular, dengan hidung yang hanya seperti celah kecil, dan mata merah berkilat yang pupilnya berbentuk vertikal. Penampakannya sangat pucat terlihat seperti mutiara yang suram. “Severus, kemari,” Ujar Voldemort, memberi isyarat untuk duduk di kursi sebelah kanannya. “Yaxley, kamu di belakang Delohov” Snape dan Yaxley menuju tempat yang diperintahkan. Sebagian besar pasang mata yang mengelilingi meja mengikuti langkah Snape, dan kepadanyalah Voldemort pertama kali angkat bicara. “Jadi?” tanya Voldemort, langsung tanpa basa-basi. “Tuanku, Orde Phoenix bermaksud untuk memindahkan Harry Potter dari tempatnya sekarang ke tempat yang lebih aman. Pada hari sabtu depan, saat senja datang.” Perhatian peserta pertemuan itu terfokus pada mereka. Sebagian air mukanya mengeras, ada yang gelisah, semuanya memandang Snape dan Voldemort. “Hari sabtu …, pada senja,” ulang Voldemort. Mata merahnya menatap tajam Snape dengan suatu intensitas yang jika orang melihatnya akan menjauh, seakan takut mereka akan dihanguskan dengan pandangan itu. Snape, bagaimanapun kelihatan tenang memandang wajah Voldemort, setelah beberapa saat, mulut Voldemort sedikit melengkung seperti sesuatu yang bisa dikatakan senyuman. “Bagus, bagus sekali. Dan informasi ini datang dari mana?” “Dari sumber yang kita telah diskusikan” Sahut snape. “Tuanku,” Yaxley mencondongkan badannya untuk bisa melihat ke meja panjang di mana Snape dan Voldemort. Semua wajah tertuju padanya. “Tuanku, saya mendengar yang berbeda dari itu” Yaxley menunggu, tapi Voldemort tidak berbicara, jadi Ia meneruskannya. “Auror Dawlish, memberitahukan bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampai tanggal tiga puluh, yaitu malam sebelum anak itu mencapai umur 17” Snape tersenyum. “Sumber saya memberitahukan bahwa mereka akan mengeluarkan berita untuk mengecoh. Itu pasti berita yang dimaksud. Bukan tidak mungkin jika mantra Confundus telah dipasang pada diri Dawlish. Ini bukan yang pertama kalinya; Dia diketahui sangat mudah dipengaruhi” “Saya jamin tuanku, Dawlish kelihatan cukup meyakinkan” kata Yaxley. “Jika dia sudah kena mantra confundus, tentu saja dia kelihatan meyakinkan,” Ujar Snape. “Saya tegaskan kamu Yaxley, Pihak Auror tidak akan memainkan peran cukup banyak dalam pengamanan Harry Potter. Orde percaya bahwa kita sudah menyusup di kementrian sihir.” “Hmmm, orde tahu satu hal yang benar ya?” kata seseorang bertubuh gempal yang duduk tidak jauh dari Yaxley. Ia tertawa terkekeh-kekeh yang membuat suaranya bergaung dalam ruangan tersebut dan sepanjang meja. Voldemort tidak tertawa, pandangannya beralih ke atas dimana sesosok tubuh berputar lamban, dan Ia tidak memperhatikan lagi. “Tuanku,” Yaxley meneruskan, “Dawlish percaya bahwa seluruh auror akan dikerahkan untuk memindahkan anak itu” Voldemort mengangkat tangan putih lebarnya, kemudian Yaxley segera terhenyak, melihat kemarahan ketika Voldemort mengalihkan pandang ke Snape. “Kemana mereka akan menyembunyikan anak itu?” “Ke salah satu rumah anggota orde” Jawab Snape. “Tempatnya, berdasarkan sumber, sudah dipasangi perlindungan bersama oleh orde dan kementrian sejauh mereka bisa sediakan. Menurut saya, ada sedikit kesempatan untuk mengambilnya segera setelah dia di sana, Tuanku, kecuali, tentu saja kementrian sudah dapat diatasi sebelum sabtu depan, yang akan memberikan kita peluang untuk menemukan dan merusak cukup banyak kekuatan mereka, untuk kemudian menghancurkan sisanya.” “Baiklah Yaxley,” Voldemort menggebrak meja. Cahaya api berkilat mengerikan di mata merahnya. “Akankah kementrian bisa diatasi sebelum sabtu depan?” Sekali lagi, semua kepala menoleh. Yaxley membidangkan bahunya. “Tuanku, hamba punya berita gembira pada poin itu. Hal ini hamba lakukan dengan susah payah. Setelah usaha yang teramat keras, hamba berhasil menanamkan kutukan Imperius pada Pius Thicknesse.” Orang-orang yang duduk di sekitar Yaxley terkesima; Delohov pria yang memiliki wajah bulat panjang itu, bertepuk tangan di belakang Yaxley. “Ini baru permulaan,” kata Voldemort. “Tapi Thicknesse baru satu orang, Scrimgeour harus bisa dipastikan dikelilingi oleh orang-orang kita sebelum Aku beraksi. Satu kesalahan saja akan menyebabkan kemunduran jauh ke belakang.” “Ya tuanku, Itu benar. Sebagaimana anda tahu, sebagai kepala departemen pelaksanan hukum gaib, Thicknesse punya kontak tidak hanya ke mentri sihir, tapi juga ke seluruh kepala departemen. Menurut hamba, ini akan lebih mudah. Dengan memiliki seorang pejabat tinggi yang berada di bawah kendali kita, untuk menaklukan lagi yang lain, dan mereka semua akan bisa bersama-sama menjatuhkan Scrimgeour dari kursi mentrinya.” “Selama teman kita thicknesse belum bisa melepaskan diri dari pengaruh kutukan,” kata Voldemort. “Bagaimanapun juga, ada kemungkinan kementrian akan memasang jebakan sebelum sabtu depan. Jika kita tidak bisa mengambil anak itu pada tujuan mereka, maka kita harus lakukan pada saat sedang perjalanan.” “Kita punya keuntungan di situ tuanku,” Kata Yaxley memohon persetujuan. “Kita sekarang punya beberapa orang yang ditempatkan di departemen transportasi gaib, Jika Potter berapparate atau menggunakan jaringan bubuk Floo, kita bisa langsung mengetahuinya.” “Mereka tak akan melakukan keduanya,” sangkal Snape. “Orde akan menghindari jalur transportasi yang dikontrol atau diatur oleh kementrian; Mereka mencurigai semuanya yang berhubungan dengan pihak yang berwenang.” “Kesimpulannya,” kata Voldemort. “Dia akan dibawa dalam keadaan tempat yang terbuka, jadi akan lebih mudah untuk diketahui dari jauh.” Voldemort kembali melihat ke atas pada tubuh yang berputar perlahan kemudian Ia melanjutkan, “Saya akan mengurus anak itu sendiri. Ada banyak kesalahan ketika menyangkut masalah Harry Potter. Sebagian adalah kesalahanku. Sehingga hidupnya harry potter adalah lebih karena kesalahanku daripada kemenangannya.” Tamu-tamu di sekeliling meja menatap Voldemort khawatir, tiap mereka dengan ekspresinya masing-masing, takut jika akan disalahkan akan masih hidupnya Harry potter sampai detik ini. Voldemort, kelihatan berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada mereka, sembari tetap mengarahkan pandang ke sosok tak sadarkan diri di atasnya. “Saya sudah ceroboh, dan dirintangi oleh keberuntungan dan kesempatan, yang menurutku adalah rencana yang paling baik. Tapi saya lebih banyak tahu sekarang, saya tahu apa yang sebelumnya saya tidak tahu. Saya harus jadi satu-satunya yang membunuh Harry Potter, dan saya akan lakukan itu.” Pada perkataan ini, nampaknya adalah jawaban bagi mereka. Tiba-tiba, terdengar suara lengkingan yang mengerikan seperti kesengsaraan dan kesakitan yang tiada akhir. Mereka segera melihat ke bawah, terkejut karena ternyata suara itu seperti berasal dari lantai di bawah kaki mereka. “Wormtail,” ujar Voldemort dengan nada suara yang bijak. Matanya masih tetap menatap sosok yang berputar perlahan di atasnya lekat-lekat. “Bukankah sudah kuperintahkan untuk menjaga tahanan kita agar tetap diam?” “Hmmmm…. ya, Tuanku” Nafasnya sedikit sesak ketika baru setengah jalan menuruni meja, duduk sangat rendah di kursinya, jika dilihat sekilas, kursi itu seperti tak ada yang menduduki. Sekarang Ia bangkit cepat-cepat dari kursinya kemudian bergegas meninggalkan ruangan, Tak ada yang ditinggalkannya, kecuali sinar keperakan yang berkilat aneh dibelakangnya. “Seperti yang sudah saya katakan,” lanjut Voldemort, mengalihkan pandangannya lagi ke wajah-wajah tegang pengikutnya, “Saya faham lebih baik sekarang. Saya akan membutuhkan, seperti contoh, saya akan meminjam tongkat sihir satu di antara kalian sebelum saya membunuh Harry Potter.” Wajah-wajah disekitarnya tidak memperlihatkan apa-apa kecuali keterkejutan. Dia baru saja mengumumkan ingin meminjam salah satu dari senjata mereka. “Tak ada sukarelawan?” ucap Voldemort, “Baiklah, Lucius, saya lihat tak ada alasan buatmu untuk memiliki tongkat sihir lagi” Lucius Malfoy dipilih. Kulitnya kelihatan kekuning-kuningan dan seperti lilin dalam cahaya api, lalu matanya terlihat cekung dan berbayang. Jika ia bicara, suaranya terdengar parau. “My lord?” “Tongkatmu Lucius, saya memerlukan tongkat sihirmu” “hamba …” Malfoy melihat ke samping pada arah Istrinya. Istrinya hanya menatap lurus ke depan, air mukanya sepucat suaminya, Rambut pirangnya menggantung di punggung, Walaupun begitu, di bawah meja, dengan berani jari kecilnya mencegah pergelangan tangan suaminya. Malfoy tidak memperdulikannya, Ia memasukkan tangannya ke dalam jubah, ditariknya tongkat sihir dan langsung diberikan kepada Voldemort, yang kemudian diangkat di depan mata merahnya untuk diteliti secara seksama. “Terbuat dari apa?” “Pohon elm, tuanku,” bisik Malfoy. “Lalu intinya?” “Naga, pembuluh jantung naga” “Bagus,” ujar Voldemort. Dia mengeluarkan tongkatnya untuk membandingkan panjangnya. Lucius Malfoy berbuat sesuatu yang tanpa disadarinya; untuk beberapa detik, dia kelihatan seperti sedang berharap untuk dapat menukarkan tongkatnya dengan tongkat milik Voldemort. Gerak isyarat itu tidak luput dari mata Voldemort. Matanya melebar dengan jahat. “Memberimu tongkatku, lucius, Tongkatku?” Sebagian dari hadirin tertawa terkekeh-kekeh. “Saya sudah memberikan kebebasan untukmu lucius, apakah itu belum cukup? Tapi saya memperhatikan kamu dan keluargamu yang kurang bahagia akhir-akhir ini, apakah itu tentang keberadaanku di rumahmu ini yang membuatmu tidak bahagia?” “Tidak, tidak sama sekali tuanku,” “Tak usah berbohong Lucius …” Bunyi desis terdengar saat mulut jahat itu berhenti bicara. Satu atau dua penyihir menahan rasa jijiknya ketika desisan itu makin keras; Sesuatu yang berat terdengar bergerak meluncur melintasi lantai di bawah meja. Seekor ular raksasa muncul lalu merambat pelan di kursi Voldemort. Panjang ular itu kelihatan seperti tak berujung. Ia datang ke Voldemort dan kemudian melingkar di bahunya. Leher ular itu kira-kira seukuran dengan paha manusia. Mata ular itu, yang hanya seperti celah dengan pupil yang tegak lurus tidak berkedip. Voldemort membelai makhluk itu dengan jari-jarinya yang kurus, masih dengan terus menatap Lucius Malfoy. “Mengapa Malfoy tidak merasa senang dengan bagiannya?, Ini adalah giliranku, saat kebangkitan kekuasaan, tidakkah sesuatu yang penting setelah kalian menunggu dalam beberapa tahun ini?” “Tentu saja tuanku,” jawab Lucius Malfoy. Tangannya bergerak menyapu keringat yang ada di atas bibir. “Kami menginginkan juga apa yang demikian.” Di sebelah kiri Malfoy, istrinya mengangguk dengan anggukan yang aneh dan kaku, matanya menghindari Voldemort dan ular itu. Di sebelah kanannya, anak laki-lakinya Draco, memandang pada tubuh tak berdaya di atasnya, melihat sekilas pada Voldemort, kemudian berpaling lagi, takut jika terjadi kontak mata. “Tuanku,” Ucap seorang wanita berkulit gelap, suaranya mengandung emosi, “Adalah sebuah kehormatan keberadaan anda di rumah keluarga kami. Tak ada kebahagian yang lebih dari ini.” Dia berkata di belakang saudara perempuannya, walaupun tidak mirip kelihatannya, Dengan rambut hitam dan pelupuk mata yang tebal. Sikap dan tingkah laku mereka pun berbeda. Misal Narcissa yang duduk dengan kaku dan tenang, lain dengan Bellatrix yang duduk bersandar di hadapan Voldemort. Walaupun mereka sebenarnya saling menyayangi. “Tak ada kesenangan yang lebih besar,” ulang Voldemort. Kepalanya menoleh ke satu sisi seakan Ia menghormati Bellatrix. “ini berarti perlakuan yang istimewa, bellatrix, dari kamu” Wajah Bellatrix menjadi pucat; kemudian air mata bahagia berlinang di matanya. “Tuanku, tak ada yang saya katakan kecuali kebenaran …” “Tak ada kesenangan yang lebih besar … walaupun dibandingkan dengan kebahagian itu, Saya dengar, sudah dilaksanakan dalam keluargamu ya minggu ini?” Bellatrix menatapnya, Bibirnya tercekat, terang sekali Ia kelihatan bingung. “Hamba tidak mengerti apa yang anda maksudkan, tuanku” “Saya berbicara tentang kemenakan perempuanmu, Bellatrix. Dan kalian juga, Lucius dan Narcissa. Dia baru saja menikah dengan seorang manusia serigala, Remus Lupin. Kalian pasti sangat bangga dengan hal ini.” Sorak dan gelak tawa meledak dalam ruangan itu. Banyak yang sampai terbungkuk-bungkuk saking riangnya tertawa; sebagian lagi malah ada yang meninju-ninju meja. Si ular raksasa tidak suka dengan kegaduhan ini, Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan mengeluarkan desisan marah, tapi para pelahap maut tidak menghiraukannya, hal ini merupakan suatu penghinaan bagi Bellatrix dan Malfoy. Wajah Bellatrix yang tadinya bersemu gembira, sekarang berubah menjadi merah padam. “Dia bukan kemenakan kami, tuanku,” teriak Bellatrix di sela-sela gempap gempita itu, “Saya dan Narcissa tidak pernah menganggap Ia saudara perempuan kami lagi sejak memutuskan untuk menikah dengan si darah lumpur. Anak nakal itu tidak pernah berhubungan dengan kami, sejak Ia menikahi jahanam itu.” “Apa yang akan kau katakan, Draco?” tanya Voldemort, Meskipun suaranya lirih, tapi terdengar dengan jelas di antara ejekan dan sorakan. “Apakah kamu mau menjaga bayi mereka hah?” Keriuhan sampai pada puncaknya; Draco melihat ngeri ke Ayahnya, yang Ia hanya menatap kosong ke pangkuannya, kemudian menatap mata Ibunya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala seperti tidak disadarinya, dan dengan air muka yang tidak berubah memandang lurus ke arah dinding di seberangnya. “Cukup!” perintah Voldemort, sambil membelai ular yang sedang marah, “Cukup.” Dan gelak tawa berhenti seketika. “biasanya ada pohon silsilah keluarga besar yang terkena penyakit sekali waktu,” Dia berkata pada Bellatrix yang sesak nafasnya, menatapnya dengan tatapan memohon, “Kau harus memangkasnya, Tidakkah kamu harus menjaganya agar tetap sehat? Buang cabang yang mengancam kesehatan dari yang sisanya.” “Baiklah tuanku,” bisik Bellatrix, matanya berlinang air mata kesyukuran kembali. “Beri aku kesempatan!” “Kamu pasti mendapatkannya,” ujar Voldemort. “Tidak hanya di keluargamu, tapi juga di dunia, kita akan memangkas habis kanker yang menginfeksi kita. Sampai hanya tersisa darah murni saja!” Voldemort mengangkat tongkat sihir kepunyaan Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung ke sosok yang berputar lamban tergantung di atas meja, kemudian sedikit menjentikan tongkatnya. Sosok itu mulai hidup lagi dengan sebuah rintihan, dan kembali berusaha melepaskan diri dari pengikat yang tak kelihatan. “Kamu mengenali tamu kita, severus?” tanya Voldemort. Snape melihat ke atas ke wajah terbalik itu. Para pelahap maut ikut melihat ke arah tawanan mereka, walaupun tidak diizinkan menunjukan rasa kecurigaan mereka. Ketika tawanan itu berputar menghadap cahaya api, Ia berkata dengan suara yang pecah dan ketakutan “Severus, tolong aku!” “Oh ya,” ujar Snape ketika sosok itu bergerak menjauh lagi. “Dan kamu, Draco?” Perintah Voldemort, sembari membelai moncong ular dengan tangan yang tidak memegang tongkat. Draco tersentak menggelengkan kepalanya. Sekarang ketika wanita itu sudah tersadar, Draco seperti tak mampu untuk melihatnya lagi. “Tapi kamu tidak akan mendapat kelasnya,” ujar Voldemort. “Dan buat kalian yang tidak tahu, kita malam ini ditemani oleh Charity Burbage yang, sampai sekarang mengajar di sekolah sihir Hogwarts pada bidang studi Ilmu sihir dan guna-guna.” Ada sedikit nada mengerti dari beberapa peserta. Seorang wanita bertubuh besar yang sudah agak bungkuk, dengan gigi tajam dan suara yang mengkotek. “Ya, Profesor Burbage mengajarkan pada anak-anak penyihir semua tentang muggle. Bagaimana mereka tidak begitu berbeda dengan kita…” Satu dari para Pelahap Maut meludah di lantai. Charity Burbage berputar kembali menghadap Severus Snape. “Severus, tolong… tolong…” “Diam!” Voldemort, dengan sedikit hentakan pada tongkat Malfoy, dan Charity terdiam seakan disumbat. “Tidak puas dengan merusak dan mencemari pemikiran anak penyihir, minggu lalu Profesor Burbage menulis pembelaan yang berapi-api untuk darah lumpur di daily prophet. Penyihir, ujar Profesor Burbage, harus bisa menerima pencuri-pencuri dari pengetahuan dan kemampuan sihir mereka. Pengurangan jumlah darah murni adalah, ujar Profesor Burbage, suatu keadaan yang sangat diharapkan… Dia mengininkan kita berkeluarga dengan Muggle, atau tidak diragukan lagi, Manusia Serigala.” Tak ada orang yang tertawa kali ini. Tidak kedengaran lelucon, tapi hanya kemarahan dan rasa jijik pada suaranya. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar ke arah Snape. Air mata mengalir dari mata wanita itu ke rambutnya. Snape melihat kembali pada wanita itu, cukup tenang, hingga Ia kembali berputar menjauhi Snape. “Avada Kedavra” Kilat sinar hijau menerangi seluruh pojok ruangan. Charity jatuh dengan suara dentuman yang bergema di atas meja, hingga bergetar dan berbunyi kemeriak. Beberapa Pelahap maut terlonjak dari kursinya. Draco melorot ke atas lantai. “Makan malam, nagini,” Kata Voldemort dengan lembut, dan ular raksasa itu melenggang dari bahu Voldemort kemudian merayap di atas meja berpelitur. Translated by Dimas Prasetyo
Posted by InDaH's BloG at 6:12 AM 1 comments
Labels: harry potter's Film
Di Antara Permintaan Hati
Anda percaya dengan kekuatan cinta? Jika anda sudah membaca cerita ini pasti anda akan percaya tentang kekuatan cinta. Seperti apa kekuatan cinta tersebut? Silakan anda baca!
---
Malam itu sepi tampak melingkupi belahan langit. Rembulan tertutupi gumpalan awan kelabu. Bintang hanya bermunculan satu -satu. Langit tak begitu ramai dihiasi benda -benda angkasa. Sama seperti kotaku yang tak lagi ramai. Sepi tampak berhembus di sana -sini. Malam itu, telah menunjukkan pukul 10 . Aku melangkahkan kakiku dengan enggan, menyusuri pelataran trotoar. Jarak rumahku tak seberapa jauh dari situ. Hari yang melelahkan baru saja kulalui. Jadwal kuliah yang kuambil membuatku baru bisa pulang kala itu. Belum lagi tugasku untuk menyelesaikan beberapa tulisanku di berbagai mejalah remaja.
Malam itu, langit membumbung di angkasa. Aku masih berjalan dengan lelahku ketika tiba -tiba aku menyadari sesuatu. Seperti langkah kaki yang berderap dari arah belakangku. Sesaat aku menyadari, aku tengah diikuti seseorang. Aku lantas semakin mempercepat langkahku hingga setengah berlari. Namun suara deru langkah kaki itu semakin mengejarku. Aku pun beradu cepat dengan suaru deru langkah kaki itu. Sementara berbagai macam pikiran menyeruak di kepalaku. Aku mungkin akan dirampok, aku akan diperkosa. Aku akan dibunuh !!. Sambil berlari kulihat di sekelilingku. Di gang yang kulalui memang tak tampak seorang pun yang masih berkeluyuran. Mungkin malam yang terlalu sendu membuat mereka tertidur lebih cepat. Hingga tak kusadari, sebongkah batu besar menghadang di bawahku. Kakiku menyepak batu itu. Perih !. Aku tersandung. Tubuhku oleng. Aku terjerembab di. Jatuh di tanah yang gersang. Dengan posisi tengkurap. Kudengar langkah kaki orang yang mengejarku sudah tepat berada di belakangku. Tawatlah riwayatku !!.
Pria itu berdiri tegap di hadapanku.Tinggi membusung sekitar 180 Cm. Otot – ototnya tegap. Sekeras baja, menggapai tangan- tanganku yang mungil. Aku yang sudah mampu berdiri menatapnya. Tubuhnya benar – benar sempurna. Aku seperti tiba - tiba tersihir pesona dirinya. Alisnya lebat dengan mata yang cekung. Jantan seperti elang. Kulitnya hitam manis. Membuat segala apa yang dikenakannya mejadi tampak indah di tubuhnya. Sempurna. Begitu gagah. Perkasa. Sejenak ketakutanku berubah menjadi kekaguman. Bisa kurasakan wajahku yang merona tiba – tiba. Aku juga melihat binar dimatanya yang begitu indah. Dan disitu, dalam ketidakmengertian yang terlalu ganjil. Aku terheran – heran. Pria perkasa itu. Matanya tampak diselimuti kesedihan yang membara. Tiada ku mengerti, hati seorang pria yang begitu jantan sepertinya. Menitikkan air mata, yang masih membekas di pelipisnya. Air mata yang tak pernah bisa dia sembunyikan dariku. Dan dalam haru itu, ia berkata,
“ Tolong…tolong aku…hanya kamu yang bisa menolongku ,“ucapnya masih di tengah kesedihan.
Aku seperti terhanyut aura kesuraman yang diciptakannya. Makluk sensitif sepertiku, berhadapan dengannya, hatiku seolah luluh. Seperti lilin yang lumer perlahan. Dan seolah tak puas dengan ekspresiku yang bingung dan gagu, ia berusaha lagi berkata,
“ tolong…hanya kamu yang bisa menyelamatkan nyawanya…”tukasnya lagi dalam deburan air mata.
“ Aku ?...aku…apa – apaan ini ? …apa yang bisa aku lakukan untukmu ??...aku bahkan tak mengenal siapa kamu…”ucapku penuh ragu antara iba dan takut.
“ Ibuku…,satu – satunya orang yang aku miliki di dunia ini…. Umurnya tak lama lagi…aku tak sanggup jika harus kehilangan dirinya. Kamu juga tak akan pernah sanggup kehilangan orang yang kamu cintai bukan ?...”tanyanya sembari menatapku dekat.
Aku kesal, disodori pertanyaan seperti itu oleh pria sepertinya. Aku lantas berbalik, bermaksud meninggalkannya. Enggan dengan segala keanehannya malam itu. Namun ia berlutut. Membuatku luluh dalam rayuan yang tak kumengerti.
“ Kumala Dewi…aku tahu kalau bibir ini tak akan kuasa memintamu…tapi, untuk yang terkahir kalinya…ikutlah denganku..dengarkanlah permintaan hatiku…. Untuk ibuku…”
Aku terhenyak. Mendengar ucapan terakhirnya. Bukan semata ucapan rayuan kuno biasa. Bahkan,. ucapan seperti itu hanya ada dalam dialog yang kumuat di cerita – cerita fiksiku. Terlebih lagi, ia mengenalku ? aku lantas berbalik. Menatapnya tajam.
”darimana kamu mengenalku ?..kamu..kamu pasti telah lama mengikutiku…apa yang kau inginkan dariku ?..”ujarku penuh selidik.
”percayalah…kumala,telah puluhan penulis yang aku datangi. Sudah puluhan penulis yang ku kenalkan padanya. Namun kekuatan mereka seolah sia -sia. Tetap tak mampu mengembalikan hidupnya. Lalu aku menemukanmu…hanya kamu harapan terakhirku,plis..”ucapnya dalam haru.
“ tapi…kenapa aku yang kau pilih ?..bukankah masih banyak penulis lain yang lebih baik dariku. Masih banyak penulis lain yang..”
“ karena aku yakin padamu.. hatiku percaya..pada karya – karyamu..dalam keputus asaanku, aku menemukan artikel yang memuat kritik tentang karya – karyamu,aku pun membaca karyamu.aku mengagumi karya -karyamu..menyentuh. dalam. puitis. romantis. Namun tetap realistis, meski..terkadang mengiris..”pujinya.
Lalu detik itu juga. Hatiku di rebut olehnya. Gembok hatiku yang sudah lama terkunci, mampu dibuka olehnya dalam sekejap.
“ tolong..ikutlah denganku..demi dia…”pintanya lagi.
Dan Entah karena kemurnian pujiannya. Ataukah karena pesona dirinya. Aku pun tersentuh mengikuti keinginannya. Aku pun terhanyut mengikuti permintaan hatinya.
“ Baiklah…”ucapku akhirnya sambil menarik nafas dalam – dalam. “ dengan satu syarat..”. Ia menatapku. Lega di wajahnya sejenak memudar. “ jangan pernah kau menyentuhku..”pintaku. Seolah masih tak percaya padanya. Ia menatapku. “ aku akan ikut kemanapun langkahmu..tapi tetaplah kau disampingku, jangan pernah menyentuhku “.Ia tersenyum simpul. Mengangguk. Lalu mengiringi langkahku.
Malam itu juga, aku mengikuti kemanapun langkahnya. Ia seperti arah mata angin bagiku. Dalam diamnya, kulihat setitik sedih masih tersisa di sorot matanya. Aku terus mengikutinya. Ke tempat yang tak pernah aku mengerti.
“ oh yah,…kau sudah tahu segalanya tentangku. Tapi aku tak tahu siapa kamu..”ujarku sembari berjalan disisinya.”Dirga..”ucapnya.
**** ****
Kebingunganku mendapatkan jawabannya. Badai pertanyaan yang telah singgah di hatiku menghilang.. Dirga membawaku ke ruangan itu. Sekitar 30 menit yang lalu kita sampai disitu. Lantas aku mengerti segalanya. Tentang apa sebenarnya yang terjadi pada hidupnya. Juga hidup seorang wanita yang terduduk membisu di hadapanku. Wanita itu berusia sekitar 40 tahunan. Keriput di wajahnya tampak samar, namun tetap tak menutupi kecantikannya. Sejak datang ke ruangan itu yang ternyata adalah salah satu ruangan di Rumah Sakit jiwa di Jakarta,suasana sudah tampak sepi. Sewaktu kami datang, dua orang dokter dan beberapa perawat yang baru saja memeriksanya tampak keluar ruangan.
Dan disinilah aku terduduk. Di hadapan wanita yang sedari tadi hanya diam membisu. Juga disamping dirga, anak satu – satunya. Yang wajahnya tak jauh menawan dengan wanita itu. Yang perlahan menjelaskan segalanya tentang apa yang dialami ibunya. Namun yang tak pernah aku pahami, adalah bagaimana sedih itu begitu dalam membelenggunya. Bagaimana kekuatan cinta pernah begitu menyiksanya.
Sejak kematian suaminya yang juga Ayah Dirga beberapa tahun silam. Bu Ayu tampak murung. Berhari -hari ia mengurung diri di kamarnya. Tenggelam dalam samudera kesedihannya. Bahkan hingga berhari, berminggu. Berbulan – bulan. Hingga suatu ketika, kondisinya melemah. Dirga segera melarikannya ke Rumah Sakit. Namun tetap tak membantu kondisi jiwanya. Bu Ayu pun dirujuk ke salah satu Rumah Sakit kejiwaan di Jakarta. Dan menghabiskan bertahun -tahun disini, karena tetap tak membantu memulihkan jiwanya. Dirga, anak tunggalnya yang ternyata adalah seorang pemusik pun meninggalkan pekerjaannya untuk manggung di berbagai café. Bahkan ia melepaskan diri dari grup Band yang pernah diketuaniya. Demi ibunya, satu-satunya orang yang dimilikinya. Rumah sakit ini pun seolah menjadi rumahnya. Semua keperluannya di pindahkan kesini.
Terkadang Dirga mencoba untuk menghibur ibunya. Menyenandungkan berbagai lagu. Mulai lagi zaman nostalgia ibunya hingga lagu anak muda zaman sekarang yang begitu mendayu – dayu. Namun semua itu tetap tak berhasil. Ia juga tak mengerti, mengapa prahara kematian ayahnya begitu dalam membelenggu hatinya. Berratus -ratus orang kehilangan orang yang mereka cintai diluar sana. Namun tak mungkin hingga membekaskan luka yang mendalam selama bertahun –tahun, seperti apa yang dialami ibunya. Dirga tak mengerti apa yang harus ia lakukan. Dan di tengah ketidak mengertiannya itulah, ibunya tiba – tiba berbicara kepadanya. Ibunya tiba-tiba mengungkapkan permintaan hatinya. Ia ingin di pertemukan dengan seorang penulis. Hanya penulis. Segenap tenaga Dirga merayu bahkan membayar beberapa penulis untuk mendatangi ibunya. Namun semuanya tak pernah berhasil. Sia-sia. Hingga suatu malam. Kondisi ibunya tiba- tiba melemah. “ umurnya tak lagi….ada kanker yang bersarang di rahimnya. Kita harus segera melakukan tindakan operasi “, ujar Dokter yang memeriksanya kala itu. Namun ketika keinginan itu disampaikan kepada ibunya. Ia tetap menolak. Ia tak kan pernah menyutujui operasi itu sebelum bertemu seorang penulis. Dan dalam keputus asaannya itulah aku hadir di tengah kepuutus asaan seorang Dirga.
“Baiklah…apa yang bisa aku lakukan untuknya..”ucapku pada Dirga sambil masih terus menatap Bu Ayu. “berjalanlah kepadanya, lalu sapa dia..katakan kalau kamu seorang penulis..”perintah Dirga. Aku melangkahkan kakiku dengan berat. Menghadap kepadanya seperti narapidana yang akan menerima hukumannya. Aku menarik napas dalam – dalam. Lalu berlutut di hadapannya. “ Bu, aku Kumala Bu…aku datng kesini untuk membantu ibu..aku akan mendengar segala permintaan hati Ibu..”ujarku pasrah.
Mula-mula ekspresinya biasa-biasa saja. Namun beberapa detik setelah mendengar ucapanku. Ia melihatku terus-menerus. Meneliti setiap lekuk wajahku. Lantas mengerutkan keningnya. Entah mengapa. Saat itu juga, aku melihat air mata yang turun perlahan di pipinya yang lama tak terurus. Di hadapannya, lagi-lagi aku terhanyut. Tenggelam karena arus kepedihan yang di rasakannya selama bertahun-tahun. Lalu ia menggapai tanganku, menyelinapkan sesuatu di telapak tanganku. Sebuah buku harian. Aku tak mengerti, namun aku menerimanya. Buku harian tua berwarna coklat tua, yang menjelaskan semuanya. Kala itu juga, aku menghabiskan waktuku disitu. Menguraikan kembali sisi-sis kehidupan seorang bu Ayu dari awal. Seperti ikut dalam alur cerita kehidupannya yang penuh haru. Cerita tentang seorang pria bernama Bagas Cokro. Penulis muda dari Bali yang merupakan cinta pertama sekaligus cinta terakhirnya. Penulis yang pernah dicintainya. Namun tak pernah sempat dinikahinya. Sebab orang tua mereka yang tak pernah menyetujuinya. Hingga Bu ayu akhirnya di jodohkan dengan ayahnya Dirga. Cinta yang lain. Meski harus berpisah lagi.
Aku pun mengerti untuk apa ia membutuhkan seorang penulis. Hanya penulis. Ia ingin ceritanya diangkat kedalam realita. Ia igin kisah hidupnya. Diangkat kedalam sebuah Novel. Aku tak menolaknya. Jika itu permintaan hatinya. Selain itu, ia juga ingin di buatkan sebuah puisi. Puisi yang kelak ingin di berikannya bagi kekasihnya. Dan kelak di abadikannya untuk kisahnya. Aku lantas mengambil selembar kertas dan mulai mengukir seuntai puisi. Yang kala itu juga kuperlihatkan padanya. Ia hanya terdiam, menelusuri kata yang kutuliskan. Lalu ia memelukku. Lama.dan selesailah tugasku karena kala itu juga, ia menyetujui operasi yang pernah di tundanya. Ia pun menyetujuinya.
**** ****
Pagi itu langit tampak mendung. Jejak matahari tak terkira sedang berada di bagian mana. Awan masih membisu diatasku. Berbulan-bulan telah berlalu dari kejadian itu. Dirga tampak menaburkan bebungaan di makam itu. Makam ibunya. Sementara aku berdiri disampingnya. Menggendong Bagas, buah hati kami yang berumur 2 Tahun. Di samping Dirga, juga tampak Bagas Cokro. Kekasih ibunya . Aku lega. Batinku lega. Sebuah permintaan hati baru saja kukabulkan. Novel yang bercerita tentang kehidupan mertuaku baru saja kuselesaikan, dan telah di rilis kemarin. Dan itu merupakan karya pertamaku yang diangkat dari sebuah kisah nyata.
Aku tetap tak mengerti, tentang betapa cinta itu tak terbatas. Tentang betapa cinta itu penuh liku dan makna. Namun aku lega, sebuah permintaan hati telah kukabulkan. Termasuk salah satu diantara permintaan hati bu Ayu. Bahwa aku harus selalu berada di sisi Dirga. Bahwa aku akan selalu berada di sampingnya sampai kapanpun. Dan itulah alasan yang selama ini di sembunyikannya. Tentang mengapa penulis-penulis sebelumnya tak pernah berhasil. Karena sang penulis juga dinilai oleh Bu Ayu, kelak menjadi istri Dirga. Sementara hari semakin mendung. Bagas Cokro hanya terdiam disamping kami . membaca puisi itu, puisi yang pernah kubuatkan untuknya atas permintaan Bu Ayu.
Aku ingin mencintaimu...
Seperti matahari mencintai bumi . . .
tiada pernah kehabisan sinar cintanya...
Aku ingin mencintaimu. . .
Seperti bintang mencintai semesta . . .
Tak kan pernah kehabisan murni cahayanya . .
Aku ingin menyayangimu . . .
Seperti gelombang menyayangi pantai...
tak pernah lelah menepi...
Aku hanya ingin disini . . .
Di sisimu . . .
Hingga matahari tak lagi bersinar . .
Hingga bintang tak lagi bercahaya . . .
Hingga gelombang tak lagi menepi . .
Aku hanya ingin mencintaimu . .
Hingga akhir waktuku...
Posted by InDaH's BloG at 5:56 AM 0 comments
Labels: Cer-Pen
Friday, November 21, 2008
Film terbaru "The Other Boleyn Girl"
Jenis Film - Drama Pemain - Nathalie Portman, Scarlett Johansson, Eric Bana, Jim Sturgess Sutradara - Justin Chadwick Penulis - Peter Morgan, Philippa Gregory (Novel) Produser - Mark Cooper, Alison Owen Durasi - 115 Min | |
Sinopsis Berawal dari sebuah keluarga Boleyn yang memiliki tiga orang anak, dimana kedua dari mereka adalah wanita-wanita yang cantik. Meski demikian, sang ayah terlalu berharap kalau keluarga mereka akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di negerinya. Permasalahan mulai muncul ketika sang Raja Inggris Henry, merasa kecewa karena tidak mendapatkan anak laki-laki dari permainsurinya. Keadaan inilah yang dimanfaatkan sang raja agar salah satunya menggoda sang raja, dan mampu memberikan keturunan pria. Namun, kenyataan berkata lain, ternyata sang raja lebih menyukai Mary yang baru saja menikah. Mary yang penurut tak bisa menolak dirinya dijadikan sebagai selir sang raja, sementara saudaranya, merasa Mary telah merebut sang raja dari dirinya. Persaingan antara dua gadis Boleyn pun terjadi, sang kakak yang akhirnya mendapatkan sang raja, bahkan mampu menggulingkan sang ratu. Namun, ternyata sang kakak tak mampu memberikan anak laki-laki juga. Hingga sebuah permasalahan muncul dan menghukum mati sang kakak dan adik laki-lakinya. Sementara itu, anak Mary dari hubungan dengan sang raja dibawa lari keluar istana dan hidup bahagia dengan karyawan ayahnya yang tak cocok dengan kehidupan keluarga. | |
Review Film yang berjudul ‘The Other Boleyn Girl’ ini merupakan sebuah film bergenre drama, film garapan sutradara Justin Chadwick ini menggambarkan tentang pentingnya anak laki-laki bagi keberlangsungan raja Inggris. Di dalam film ini banyak memberikan gambaran persaingan hidup itu tetap ada, bahkan dapat terjadi dalam sebuah keluarga. Intrik-intik untuk mendapatkan kedudukan banyak sekali digambarkan dalam film ini. Uniknya, seorang raja ternyata paham sekali dengan orang-orang semacam itu. Tak hanya itu, dalam pesan ini pun banyak memberikan pelajaran bahwa anak laki-laki maupun perempuan adalah sama. Sama-sama karunia Tuhan yang manusia tak dapat membatasinya. Dalam film memberikan benang merah, bahwa kekuasaan tidak selalu harus dapat dilakukan oleh seorang pria. Dalam film ini Gadis berambut merah yang diberi nama Elizabeth tersebut mampu menjadi seorang ratu, dan akhirnya melahirkan seorang raja yang mampu berkuasa hingga 45 tahun di Inggris. |
Posted by InDaH's BloG at 11:22 PM 0 comments
Labels: Sinopsis(film)
Lubang Resapan Biopori (LRB), Lubang Kecil Pencegah Banjir
Banjir merupakan bencana alam berupa luapan air yang menggenangi suatu wilayah dalam jumlah yang cukup besar. Ini biasanya terjadi karena sistem drainase makro (drainase alam) sudah tidak mampu untuk menyerap air dalam jumlah besar. Sistem drainase mikro (drainase buatan) juga tidak mampu untuk menampung dan mengalirkan air permukaan. Beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya banjir antara lain pendangkalan sungai, rusaknya saluran-saluran drainase, tidak adanya daerah resapan air, tidak adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sebenarnya, faktor penyebab banjir yang paling utama adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, di samping faktor-faktor alam penyebab banjir misalnya, curah hujan, jenis tanah. Kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan menyebabkan tersumbatnya saluran drainase sehingga ketika hujan turun saluran drainase tidak mampu menampung dan mengalirkan air hujan. Pengembangan infrastruktur wilayah hasil buah pikiran manusia juga menjadi salah satu penyebab banjir. Pembangunan yang dilakukan tidak menggunakan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang baik dan benar tetapi hanya sebagai formalitas, cermin penduduk Indonesia.
Bencana alam seperti banjir bukan berarti tidak punya solusi. Setiap permasalahan yang ada pasti ada solusinya. Banyak alternatif yang bisa digunakan untuk menanggulangi / mencegah banjir. Salah satu alternatif pencegahan banjir adalah Lubang Resapan Biopori (LRB), di samping alternatif-alternatif lainnya.
Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah teknologi tepat guna yang digunakan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air ke tanah. Teknologi ini sangat sederhana dan ramah lingkungan. LRB terbuat dari tanah yang dilubangi menggunakan bor Lakonserva, berdiameter 10 - 30 cm dan panjangnya kurang lebih 80 - 100 cm. Lubang tersebut di beri sampah organik yang nantinya akan berubah menjadi kompos dengan memanfaatkan aktifitas fauna tanah dan akar tanaman. LRB ini juga bisa mengurangi emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metan.
LRB akan menambah luas bidang resapan air, setidaknya ukurannya sebesar luas dinding lubang. Lubang Resapan yang berdiameter 10 cm dan panjangnya 80 cm memiliki luas bidang resapan 2590,5 cm2. Dengan kata lain, suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran yang berdiameter 10 cm memiliki luas bidang resapan 78,5 cm2. Namun, setelah dibuat Lubang Resapan dengan kedalaman 80 cm, luas bidang resapannya berubah menjadi 2590,5 cm2 atau hampir ¼ m2. Adanya aktivitas fauna tanah dan akar tanaman menjadikan terbentuknya biopori yang selalu terpelihara. Oleh sebab itu, bidang resapan ini ada senantiasa terjaga kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian, kombinasi antara luas bidang resapan dan biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air.
Langkah-langkah untuk membuat LRB tergolong mudah. Kita cukup dengan mengebor tanah searah jarum jam menggunakan alat bor. Dalam pengeboran perlu ditambahkan air supaya tanah menjadi lebih gembur dan mengebornya lebih mudah. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak membuat LRB karena pembuatannya mudah. Selain itu, LRB juga bisa diterapkan dimana saja. Lahan yang sudah ditutup dengan perkerasan jalan pun bisa dibuat LRB, apalagi lahan yang masih terbuka.
LRB merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Ini dibuat dari tanah dengan cara dibor. Tidak ada satu pun bahan kimia / bahan berbahaya yang digunakan untuk membuat Lubang ini. Lagipula, lubang ini berfungsi untuk merubah sampah organik menjadi kompos sehingga dapat mengurangi jumlah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Alat untuk membuat LRB, bor Lakonserva, juga tidak terlalu mahal hanya Rp 175.000,- dan bisa digunakan berkali-kali. Jika dihitung-hitung, fungsi LRB jauh melebihi harga yang harus dikeluarkan untuk membeli alat bornya.
Lubang Resapan Biopori merupakan salah satu alternatif pencegahan banjir. LRB berfungsi meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Semakin banyak LRB yang dibuat maka semakin banyak pula air yang bisa diserap ke dalam tanah. Semakin banyak air yang diserap oleh tanah akan semakin mengurangi aliran air permukaan sehingga akan mencegah terjadinya banjir. Air yang diserap bisa menambah cadangan air tanah sehingga nantinya bisa mencegah terjadinya krisis ketersediaan air di musim kemarau. Pembuatan LRB dalam jumlah besar berarti mengurangi sampah organik dalam jumlah besar pula. Hal itu akan mengurangi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain itu, juga akan mengurangi beban sungai dalam menampung sampah. Berkurangnya jumlah sampah di sungai juga akan mencegah terjadinya banjir karena tempat yang awalnya terisi oleh sampah akan digantikan oleh air permukaan.
Posted by InDaH's BloG at 8:55 PM 1 comments
Labels: Berita Iptek
Paper Clip, Hebatnya Teknologi sederhana
Siapa yang tidak kenal dengan si penjepit kertas? Sebagai pelajar, orang kantoran, maupun karyawan di sebuah tempat fotokopi, kita tak pernah lepas dari si mungil ini. Fungsinya sederhana yaitu untuk menautkan lebih dari satu kertas. Bentuk, warna, dan ukurannya beragam, disesuaikan dengan jumlah kertas yang hendak dijepit dan selera pengguna.
Bagaimana dengan konsep kerjanya? Lagi-lagi sederhana. Ilmu yang digunakan dalam teknologi ini adalah ilmu tentang tekanan yang membuat kertas-kertas menyatu tanpa kerusakan. Tidak seperti stapler, penjepit kertas jauh memudahkan pengguna karena dapat dilepas dengan cepat dan gampang.
Paper clip dipatenkan di Jerman pada tahun 1899 untuk seorang berkewarganegaraan Norwegia, Johan Vaaler. Tak lama kemudian pada tahun 1901 Vaaler mematenkan kembali paper clip dengan desain serupa yang lebih praktis.
Inilah model paper clip yang Vaaler patenkan:
info & gambar dari wikipedia.org
Posted by InDaH's BloG at 8:01 PM 0 comments
Labels: Berita Iptek
Mutiara Kehidupan
Kehidupan bagaikan pelangi...namun ada masanya ia bagaikan senja yg hanya ada warna merah jingga yang memuramkan...
Di dalam menempuh jalan hidup janganlah mencoba jauh dari Tuhan, sebab kehidupan kita yang sebenarnya terletak ditanganNya. Betapa pun kita memegang kemudi bahtera menuju pelabuhan yang dicita-citakan, namun yang menentukan arah angin adalah Dia.
Posted by InDaH's BloG at 7:57 PM 1 comments
Labels: KaTa MutiaRa
Ketika Hati Menangis
ketika hati menangis, hanya kau saja yg tahu
Tuhanku….
Ketika mereka meninggalkan aku sendiri
Ketika dunia tiada simpati,
Kau tetap mendengar rintihanku
PadaMu tempatku menagih kasih
Ketenangan kurasa mendekatiMu
Syahdu malam tak terasa sunyi
Tuhanku….
Ketika aku dalam kepayahan,
dalam kesendirian dihimpit cobaan
Kau beri aku kesabaran,
pengalaman mengajar arti kematangan
Lantas Kau membuka pintu hatiku,
untuk memberi kemaafan
Pada mereka yang pernah melupakanku
Tuhanku….
Ketika aku buntu
Kau berikan aku kekuatan, kau tunjukkan aku jalan
Kau tak biarkan aku sendirian
Tuhanku….
Yang Maha Pengasih, Rahmatmu tak terkira
Syukurku melangit pun tak tercapai
Sungguh aku merasa berdosa karena dulu sering lalai
Semoga penyesalanku Kau terima
THANK YOU ALLAH FOR THE BLESSINGS YOU HAVE GIVEN
Posted by InDaH's BloG at 7:33 PM 0 comments
Labels: POEM ( PUISI)
LoVE
Love is a give...
Yup Thats definetely right..
Cinta adalah rahmat dari-Nya..
Karena dengan cintalah...
Seorang Ibu merelakan jiwanya demi untuk kelahiran buah hatinya...
Karena dengan cintalah...
Seorang ayah, merelakan dirinya berusaha sekuat tenaga demi mencari nafkah untuk anggota keluarganya.
Karena dengan cintalah...
Shalahuddin Al Ayyubi tidak dapat tertawa sebelum mesjid Al - Aqsha dapat dibebaskan untuk menebus cintanya kepada Rabbul Izzati...
Karena dengan cintalah...
Para mujahid dan mujahidah rela mengorbankan harta, jiwa dan raganya untuk dapat mendapat cinta dari Yang Maha Mempunyai Cinta...
Allah...
Ya...
Dia-lah Allah sang Ar Rahman...
Dengan cinta-Nya bumi, langit dan planet melaju dalam alur yang harmonis...
Dengan cinta-Nya angin masih menyapa tetumbuhan dan rerumputan..
Dengan cinta-Nya cahya mentari masih menerpa hangat tubuh kita..
Kepada Allah-lah muara cinta yang Hakiki.
Posted by InDaH's BloG at 7:25 PM 0 comments
Labels: POEM ( PUISI)
Alat Peredaran Darah
Alat peredaran darah pada manusia terdiri atas jantung dan pembuluh darah.
- Jantung
Jantung diselubungi oleh serabut ganda yang disebut perikardium. Dinding rongga jantung tersusun terutama atas otot jantung. Antara serambi dan bilik dibatasi oleh suatu sekat yang berkatup. Katup sebelah kanan disebut katup trikuspid yang terdiri atas 3 kelopak atau kuspa dan katup sebelah kiri disebut bikuspid yang terdiri atas 2 kelopak atau kuspa. Katup- katup tersebut berfungsi untuk menjaga agar darah dari bilik tidak mengalir kembali ke serambi
Otot jantung mampu berkontraksi sehingga jantung dapat mengembang dan mengempis. Mengembang dan mengempisnya serambi dan bilik terjadi secara bergantian. Kontraksi jantung menimbulkan denyutan yang dapat dirasakan pada pembuluh nadi di beberapa tempat.
Kecepatan denyut jantung pada setiap orang berbeda- beda tergantung pada kondisi setiap orang, misalnya
- usia,
- berat badan,
- jenis kelamin
- kesehatan dan
- aktivitas seseorang
Jadi, sistol merupakan tekanan darah karena jantung memompa darah keluar dan diastol merupakan tekanan karena jantung "memasukkan" darah. Tekanan darah dapat diukur dengan alat pengukur tekanan darah yang disebut tensimeter atau sfigmomanometer.
Tekanan darah merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kekuatan seseorang memompa darah serta indikator untuk mengetahui kondisi kesehatan seseorang. Tekanan darah orang dewasa normal 120/ 80 mmHg (milimeter air raksa). Nilai 120 menunjukkan tekanan sistol, sedangkan 80 menunjukkan tekanan diastol.
Jantung memiliki pembuluh darah yang menuju atau keluar dari jantung. Pembuluh darah yang menuju keluar dari jantung adalah:
- vena cava, yang mengalirkan darah dari seluruh tubuh, bermuara pada serambi kanan
- arteri pulmonalis, yang mengalirkan darah dari bilik kanan menuju ke paru- paru, darahnya banyak mengandung CO2
- vena pulmonalis, yang mengalirkan darah dari paru- paru menuju ke serambi kiri. darahnya banyak mengandung O2
- aorta, yang mengalirkan darah dari bilik kiri menuju ke seluruh tubuh
- arteri koronaria, yaitu pembuluh darah dari bilik menuju ke jantung
Darah kitaberada di dalam pembuluh darah. Berdasarkan fungsinya, pembuluh darah dibedakan atas pembuluh nadi atau arteri dan pembuluh balik atau vena. Penghubung antara arteri dan vena adalah pembuluh kapiler
- Pembuluh nadi/ arteri
- Pembuluh Balik/ vena
- Pembuluh kapiler
Posted by InDaH's BloG at 5:14 PM 1 comments
Labels: SAINS