CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Saturday, November 22, 2008

Taman Atap, "Stepping Stone" Hijau Jejaring Ekologi Kota

PEMBANGUNAN perkotaan tidak saja menuntut peningkatan kebutuhan atas ruang, tetapi juga meningkatkan kompleksitas ruang. Aktivitas ini sering kali menempatkan pertimbangan-pertimbangan atas kota dan entitas alam serta kehidupan liar (wildlife) pada posisi yang terpisah. BAHKAN, akibat ketersediaan ruang- ruang kota yang terbatas dan sering tidak sejalan dengan tingkat kebutuhannya, sering menimbulkan konflik-konflik peruntukan ruang yang dilematis antara kepentingan pembangunan dan pelestarian alam. Pada akhirnya keberadaan relung-relung alami (niches) berupa ruang terbuka hijau dan taman kota senantiasa menjadi korban dan sasaran penggusuran dengan berbagai alasan-alasan klasik. Jakarta dengan luas kota 66.000 hektar menjadi contoh terhadap fenomena di atas. Tidak konsistennya penentuan besaran kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) kota maupun implementasinya merupakan contoh kasus yang mudah dibuktikan. Perubahan alokasi peruntukan RTH senantiasa terjadi. Mulai dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang mengalokasikan RTH seluas 37,2 persen, berubah menjadi 25,85 persen dalam Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985–2005 (Perda Nomor 5 Tahun 1985) sampai akhirnya hanya menyisakan target RTH sebesar 13,94 persen dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000–2010 (Perda No 6 Tahun 1999). Namun, realitasnya pencapaian target RTH yang terakhir ini pun tampaknya "cukup sulit" terpenuhi. Oleh karena itu, sementara kita harus bersabar menantikan political will pemerintah dalam mengimplementasikan rencana tata ruangnya secara konsisten, pemberdayaan potensi ruang hijau lain patut dipertimbangkan. Salah satu upaya pemberdayaan ruang yang radikal adalah melalui program penyusupan kantong- kantong hijau pada atap-atap gedung bertingkat dan struktur bangunan (rooftop garden). Taman atap atau ruang hijau atap ini merupakan bentuk penghijauan dengan wadah tanam atau ruang pada atap gedung atau struktur buatan lainnya.

Perambahan "hutan beton" dengan ruang hijau atap bangunan ini tidak saja "menghidupkan" ruang steril yang tidak termanfaatkan, tetapi juga memecahkan desain atap gedung dan horizon kota yang monoton.
Kehadiran taman-taman atap tersebut juga memberikan jasa lingkungan berupa pembebasan lingkungan perkotaan dari kepungan polusi udara dan debu, penyerapan pancaran udara panas yang tidak nyaman, serta peredaman bising yang memekakkan telinga. Pengembangan ruang hijau vertikal di atas belantara "hutan beton" tersebut mempunyai peran ekologis dalam meningkatkan biodiversitas di perkotaan. Jalinan antarruang hijau atap yang terbentuk merupakan jejaring (network) infrastruktur alam di kota. Kehadiran ruang-ruang hijau atap ini menjadi alternatif dalam mengatasi isolasi dan kesulitan dalam membangun jejaring yang kontinu pada lahan yang terfragmentasi.

Taman atap tersebut menjadi batu pijakan (stepping stone) koridor udara penghubung vegetasi, satwa, dan wildlife. Kehadiran stepping stone hijau ini menjadi komponen pergerakan kehidupan liar, baik antarrelung hijau taman atap kota maupun dengan "kawasan sumber" (resources pool) luar kota.

Sebagai negara yang menandatangani Convention on Biological Diversity, upaya pemulihan lahan-lahan perkotaan yang terdegradasi dengan mengembangkan alternatif peningkatan keragaman biologi di perkotaan (urban biodiversity) patut mendapat acungan jempol.

Untuk kasus Jakarta, adanya kendala dalam pengembangan RTH kota adalah berupa penggusuran taman-taman kota menjadi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau gardu listrik, penebangan pohon peneduh pada koridor hijau jalur sirkulasi, dan okupasi koridor biru (blueways) Sungai Ciliwung. Jaringan sungai serupa lainnya serta sabuk hijau mangrove Muara Angke oleh permukiman "liar" setidaknya dapat "dikompensasi" melalui pengembangan jejaring stepping stone hijau.


Pada saatnya nanti apabila keseluruhan komponen infrastruktur hijau bersinergi akan tercipta tatanan infrastruktur alami yang variatif dengan beragam koridor biologi berupa koridor hijau, blueways, greenbelt; dan jejaring hijau berbentuk RTH, taman kota, serta stepping stone hijau.
Adanya peran multifungsi yang sulit dilakukan pada lahan perkotaan yang terfragmentasi seperti digambarkan di atas menjadi alasan dikembangkannya sistem jejaring stepping stone hijau pada kota- kota besar mancanegara. Sebelum berkembang di Amerika Serikat dan Kanada, beberapa negara Eropa seperti Jerman, Swis, Austria, dan negara Skandinavia tercatat menjadi pelopor dalam pembangunan ruang hijau atap bangunan ini. Penghijauan "hutan beton" perkotaan di Jerman pada tahun 1980-an menunjukkan peningkatan yang menakjubkan. Gerakan yang di tahun 1989 telah menghijaukan atap gedung bertingkat seluas satu juta meter persegi, semakin melebar menjadi 10 juta meter persegi pada tahun 1996 dengan proporsi di antara sepuluh atap gedung terdapat satu taman atap.

Keberhasilan pembangunan taman atap ini tidak terlepas dari adanya dukungan peraturan dan finansial pemerintah kota sebesar 35-40 DM untuk setiap meter persegi luas atap.
Di Asia beberapa negara, seperti Singapura, Hongkong (China), Jepang, dan Korea, dengan gencar menggalakkan gerakan penghijauan atap ini. Pemerintah Jepang yang sangat mendukung gerakan ini sejak 1 April 2004 memberlakukan aturan yang mewajibkan penyediaan minimum 20 persen dari areal atap datar gedung bertingkat sebagai ruang hijau. Kewajiban ini diberlakukan pada setiap pembangunan gedung layanan publik (dengan luas minimum 250 meter persegi) atau fasilitas komersial privat (dengan luas minimum 1.000 meter persegi). Dalam mempromosikan areal hijau kota di Hongkong, telah diterbitkan surat keputusan bersama tiga menteri (bidang bangunan, bidang lahan, dan bidang perencanaan) yang memasukkan penghijauan atap bangunan dalam standar pembangunan gedung tinggi. Di Singapura program penghijauan atap-atap gedung tinggi ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan program yang mendukung Singapura sebagai Kota (Negara) Taman.

Kekurangan areal hijau di kota metropolitan Seoul (dengan luas kota 62.000 hektar) mendapat tambahan dalam bentuk taman atap atau ruang hijau atap ini. Ruang hijau potensial yang disumbangan dari "hutan beton" ini setidaknya dapat mencapai sekitar 20.000 hektar (30 persen) dari total kawasan terbangun kota seluas kira-kira 25.000 hektar atau 42 persen dari luas kota (Kim, 2005). Pemberdayaan "hutan beton" gedung bertingkat dan struktur bangunan lain menjadi stepping stone hijau kota sangat dimungkinkan dengan adanya dukungan teknologi penghijauan atap.

Desain ruang hijau atap ini dapat bervariasi dan ditentukan oleh konstruksi bangunan gedung, fungsi dan tingkat pengelolaan (pemeliharaannya). Dengan mempertimbangkan konstruksi bangunan, seperti kekedapan struktur atap, penggunaan lapisan membran kedap air, root repelling membran, penggunaan wadah tanam, sistem drainase berlapis, pemilihan dan penggunaan media tanam ringan dan pemilihan jenis tanaman merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkannya.

Fungsi ruang hijau atap ini dapat didesain hanya sebagai ruang hijau tanpa akses untuk dikunjungi maupun sebagai taman sehingga bentuk pengelolaannya akan menyesuaikan dengan desain ruang hijau yang dikembangkan.

Semoga konsep stepping stone hijau belantara "hutan beton" pelengkap jejaring infrastruktur alam dalam meningkatkan biodiversitas kota (urban biodiversity) ini menjadi oase pemikiran yang segar untuk dikembangkan di lingkungan perkotaan Tanah Air.

0 comments: